'Kurikulum Zimbabwe'
Seorang teman satu perantauan yang mengabdi di Sekolah Dasar (SD) milik perkebunan kelapa sawit di Kutai Timur tiba tiba sering mengucapkan Kurikulum Zimbabwe, saya dan teman teman lain yang belum tahu maksudnya pun hanya bisa tersenyum seolah mengiyakan. Biasanya kata kata itu keluar setelah selesai mengajar atau saat santai di rumah, saat pikiran mengajak seseorang untuk menyempatkan waktu merehatkan diri sejenak. Lambat laun kata kata itupun ditirukan oleh teman teman yang lain, khususnya teman guru yang tinggal satu rumah, saat masak, saat bermain HP, saat santai menikmati berita di stasiun televisi kesayangan yang berjargon House of Badminton, selain hobi badminton memang suka dengan berita ataupun talk show-nya.
Sepengetahuan saya, kurikulum itu adalah seperangkat sistem yang direncanakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Mungkin pendapat yang terlalu dangkal. Meskipun sekolah tempat mengabdi tergolong agak pelosok, tapi sudah menerapkan Kurikulum 2013 (K13), sehingga dalam proses belajar mengajar pendidik juga harus menyiapkan berbagai administrasi yang cukup banyak. Pernah suatu kali menjelang pembagian raport disibukkan dengan proses pengerjaan raport, bahkan sampai membawa kasur di sekolah. Bukan masalah mudah atau tidaknya, hanya saja kendala saat itu adalah pendeskripsian nilai yang memakan waktu cukup lama, terlebih jika dalam satu kelas muridnya banyak.
Kembali terngiang dengan kata kata teman yang sudah familier di telinga kami tadi. Beberapa kali waktu saya menyempatkan browsing ada apa sih dengan kata Zimbabwe. Akhirnya saya memutuskan untuk membacanya di situs Wikipedia. Saya langsung kaget saat mendapati informasi. Diantara informasi itu adalah perekonomian Zimbabwe terus mengalami kemerosotan, bahkan inflasi disana meningkat hingga 2,2 juta persen. Selain itu Bank sentral Zimbabwe mengeluarkan pecahan 100 triliun dolar, yang menjadi uang dengan nominal terbesar di dunia. Dalam bidang kesehatan di Zimbabwe merupakan salah satu yang terburuk di dunia. Saya pun menyudahi sementara mencari informasi terkait Zimbabwe, saya berfikir bersyukur sekali masyarakat Indonesia ini, ternyata masih banyak negara negara yang cukup memprihatinkan kondisinya.
Akhirnya, rahasia kata Kurikulum Zimbabwe pun terkuak. Kami menerjemahkan dengan persepsi masing masing yang intinya kurang lebih adalah, berprofesi sebagai tenaga pendidik yang kelihatannya agak santai itu kalau dihadapkan dengan seabrek permasalahan dalam proses belajar mengajar ataupun saat interaksi dengan beranekaragamnya siswa siswi yang ada juga bisa sering bad mood, suntuk, galau dan lainnya. Apalagi mau jalan jalan ke kota terdekat harus menempuh waktu sekitar dua jam, cukup melelahkan. Kata kata itu ditujukan untuk menggoda kami yang terkadang terlihat seperti muka kurang piknik, suram.
Benar saja, persoalan belajar mengajar di sekolah kami sangat beragam. Mungkin di sekolah yang berada di kota sangat beda sekali. Permasalahan yang utama adalah beraneka ragamnya permasalahan peserta didik yang rata rata pendatang dari berbagai daerah, Jawa, Sulawesi, NTT dan Sumatera. Karena orang tua mereka mulai bekerja sejak pagi pagi, sekitar pukul lima pagi harus sudah berangkat breafing dan mulai pergi ke ladang. Akhirnya porsi kasih sayang untuk anak anak mereka pun sangat terbatas. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang harus mempersiapkan segala perlengkapan sekolah mereka, belum lagi mereka harus berdesak desakan di bus sekolah dan menempuh jarak yang cukup jauh juga.
Tidak sedikit juga ada anak pindahan dari daerah asalnya namun tidak membawa kelengkapan administrasi, akhirnya turun kelas. Bahkan ada yang harusnya sudah duduk di bangku kelas enam, turun di kelas tiga. Dan orang tua tidak mau mengusahakan melengkapi dokumen yang dibutuhkan, padahal itu sangat penting. Ada juga permasalahan tentang pehamanan sebuah tulisan yang masih sangat rendah. Namun, heran saya kalau urusan buka buka buku yang dominan gambarnya mereka senang sekali, apalagi yang ada konten film kartun kesukaannya. Ada juga satu anak yang setiap hari makanannya hanya mie instant, kalau makan nasi muntah. Akhirnya beranekaragaman kondisi mereka masing masing mebuat proses pembelajaran harus ekstra keras. Bersyukur para pengajar yang ada sangat sabar sabar. Sangking sabarnya itulah permasalahan mereka, para guru pun banyak yang turut merasakan meskipun secara batin.
Saya amati pernah beberapa kali sempat booming permainan yang menurut saya sangat konyol. Yang paling saya ingat adalah maraknya adu stick bekas es kri yang ditepuk tepuk dengan kedua telapak tangannya. Bahkan ada yang bisa menepuk sampai sangat keras. Pernah saya mencopa pelan saja, tangan saya terasa sakit. Dalam kelas akhirnya saya sindir mereka, anak anak seumuran kalian di luar negeri sana (tepatnya kurang jelas hehe) mainanya sudah teknologi canggih, kita masih mainan barang bekas. Bukan masalah permainannya, tapi gara gara maraknya permainan itu pembelajaran jadi terganggu. Ada yang transaksi jual beli stick, ada yang sakunya samapa penuh, ada yang bawa stick sampai satu kresek dll.
Meskipun banyaknya problematika tersebut, satu kata yang tidak lepas dari lisan kami, kalian (siswa siswi) sangat luar biasa meskipun hasilnya belum maksimal. Di tengah keterbasan kalian selalu semangat menuntut ilmu, padahal terkadang kami sebagai pendidik kehabisan banyangan mau jadi apa kalian kelak. Jumlah kalian ratusan dan dihadapkan semakin peliknya kehidupan di negeri ini. Namun, kami yakin salah satu, atau lebih diantara kalian akan bisa menjadi orang berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H