Lihat ke Halaman Asli

Dedi Irawan

The Pessimistic Man

Betapa Beratnya Punggung Anak Pertama

Diperbarui: 6 Mei 2024   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Anak pertama laki-laki selalu serba salah. Bagaimana tidak, segala keputusannya selalu diatur dan tidak menguntungkan dirinya sendiri. Bahkan, hampir tidak pernah ditanya kabar dan tidak pernah diapresiasi. Ini bukan masalah mental gen z, tapi masalah kondisi di mana orang tua sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengerti anak-anaknya. Selalu ingin dimengerti. 

Di pundak yang kokoh ini, tertanam beban warisan sejak lahir. Menjadi anak laki-laki pertama, sang penerus nama, pembawa obor harapan keluarga. Sejak kecil, bahu saya terlatih untuk menanggung beban ekspektasi, menjadi teladan bagi adik-adik, dan selalu tampil kuat.

Namun, di balik topeng ketegaran, hati saya menyimpan luka. Depresi bagaikan hantu yang membayangi, mencengkeram jiwa dalam kesunyian. Suara-suara keraguan bergema di kepala, menggerogoti rasa percaya diri. Saya ingin berteriak, ingin menangis, ingin diluapkan semua rasa sakit ini.

Tapi, saya tak mampu. Saya adalah anak laki-laki pertama, sang pilar keluarga. Tangisan dan kelemahan dianggap aib, tanda kelemahan yang tak boleh diperlihatkan. Saya harus selalu tegar, selalu menjadi yang terbaik, tak boleh menunjukkan keretakan di baju besi.

Apresiasi bagaikan fatamorgana, selalu tampak di kejauhan namun tak pernah terjamah. Prestasi saya tak pernah cukup, selalu dibandingkan dengan bayang-bayang kesuksesan yang entah di mana. Saya bagaikan mesin yang dituntut untuk terus berproduksi, tanpa henti, tanpa rasa lelah

"Bagaimana kabarmu?" 

Pertanyaan sederhana itu bagaikan mimpi indah yang tak pernah terwujud. Saya terbiasa hidup dalam kesunyian, berjuang sendiri melawan monster depresi yang mencengkeram. Tak ada yang bertanya, tak ada yang peduli, seolah saya tak berhak untuk merasakan sakit dan sedih.

Beban ini terasa semakin berat, menindih dada hingga sesak. Saya ingin terbebas, ingin hidup seperti manusia biasa yang bebas mengekspresikan diri, yang bebas merasakan bahagia dan sedih. Saya ingin dicintai, bukan hanya dihargai. Saya ingin didengar, bukan hanya dilihat.

Namun, di balik semua beban ini, masih ada secercah harapan. Saya tahu, saya tak sendirian. Ada banyak anak laki-laki pertama di luar sana yang merasakan beban yang sama. Suatu saat nanti, saya akan berani membuka diri, menunjukkan sisi rapuhku, dan mencari pertolongan. Saya akan belajar untuk mencintai diri sendiri, dan berhenti membebani diri dengan ekspektasi yang tak realistis.

Apakah hanya uang yang kalian harapkan kepada anak laki-laki kalian?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline