Kurang lebih setengah abad setelah bangsa ini merdeka, tepatnya pada 21 Mei 1998, Presiden kedua republik ini, Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun sejak dilantik pada tahun 1966, dilengserkan oleh komponen generasi muda yang dalam hal ini tergabung dalam gerakan mahasiswa angkatan ’98. Gerakan mahasiswa beserta para tokoh reformasi menumbangkan rezim kekuasaan Orde Baru yang kental dengan nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Seperti halnya semangat nasionalisme pada kebangkitan nasional, semangat reformasi yang menghendaki adanya perubahan berusaha mengikis segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru selama tiga dasa warsa terakhir. Reformasi menghendaki sebuah kondisi yang lebih baik, mengandaikan sebuah negara yang bersih dari budaya KKN, menghapus segala bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kini, setelah sepuluh tahun reformasi bergulir, cita-cita untuk mewujudkan sebuah negara yang bersih dari KKN, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta menghargai hak-hak kemanusiaan masih belum terlihat jelas. Labilitas kondisi bangsa Indonesia masih terus berlanjut. Berbagai persoalan melingkupi hampir seluruh sendi kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan pelbagai sendi kehidupan lainnya yang semakin menambah panjang derita bangsa ini. Persoalan-persoalan sosial seperti kerusuhan, kriminalitas, pengangguran, perjudian dan prostitusi, serta berbagai masalah sosial lainnya menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat negeri ini. Di bidang budaya, krisis moralitas semakin menggejala. Pornoaksi dan pornografi merajalela. Kebebasan disalah artikan sehingga tidak jarang justru menjadi ‘kebablasan’. Nilai-nilai normatif, terlebih lagi nilai-nilai agama sudah tidak diindahkan. Kenyataan yang menyesakkan dada, bahkan yang sangat dirasakan oleh masyarakat negeri ini adalah berkaitan dengan masalah ekonomi. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok seiring naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), serta ulah para pejabat di pelbagai instansi pemerintah yang masih melanggengkan praktek korupsi semakin menyengsarakan rakyat banyak. Di sisi lain, kehidupan politik pun setali tiga uang. Demi melanggengkan atau mencapai kekuasaan, segala hal dihalalkan. Adu jotos antaranggota dewan kerap mewarnai sejumlah sidang, tindakan represif aparat dengan menangkapi para demonstran yang, tidak jarang disertai dengan tindak kekerasan semakin menunjukkan sikap angkuh pemerintah, sekaligus membuka mata kita bahwa pemerintah belum dewasa dalam berpolitik. Kita tinjau semua partai korupsi menyebutkan kader Demokrat paling banyak melakukan korupsi yaitu 44.8% disusul Golkar sebanyak 6.5%, PDIP 2.4%, PKB 0.8%, Gerindra 0.7%, PAN 0.5%, PPP 0.4%, PKDI 0.2%, PKS 0.2% Harapan terakhir bangsa ini disandarkan penegakan supremasi hukum. Ironisnya, hukum yang tujuannya untuk memberikan keadilan sosial untuk semua (social justice for all), saat ini justru dapat dieksploitasi sesuai dengan cita rasa kekuasaan. Para eksploitator dengan seenaknya menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan mereka. Masih begitu banyak yang belum terselesaikan oleh KPK sepert Kasus Bank centuri, kasus wisma atlet, kasus-kasus di berbagai daerah lainnya Jadi kepada siapakah kami harus percaya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H