Sepertinya sawit tak pernah ramah kepada presiden Jokowi. Ia ibarat api yang tak hanya panas di badan tapi juga membakar emosi dan harga diri.
Dua tahun lalu pak Presiden setengah "emso" menghentikan ekspor CPO (CRUDE PALM OIL) ke Eropa. Pasalnya JKW merasa dipermainkan Masyarakat Ekonomi Eropa berkait dengan ekspor CPU itu. Lalu JKW memerintahkan agar CPO tidak diekspor ke Eropa tapi diolah menjadi bahan bakar minyak setara okstan B30.
Dan kebijakan itu menjadi salah satu faktor yang digunakan menteri perdagangan M.Luthfi menjelaskan hilangnya minyak goreng di pasaran domestik akhir akhir ini.
Kemarin pak Jokowi buat gebrakan lagi. Tanggal 22 April melarang ekspor CPO serta minyak goreng. Tapi yang agak aneh pelarangan berlaku mundur mulai 28 April. Ini yang ditanggapi teman teman saya di grup Presidium Tasela.
Telat atuh bapak. Dalam seminggu ada kesempatan para eksportir sapu bersih jual stok". Kok seperti by design.
Ada juga yang menanggapi positif kebijakan itu. Salah satunya anggota komisi VI DPR Faisol Reza. Ia menyebut keputusan itu menandakan pemerintah tak kalah oleh siapapun termasuk para eksportir CPO/minyak goreng, dalam melindungi kepentingan masyarakat.
Tapi tak semua orang oke oce, sumuhun dawuh, sendiko dalem ngiringan wae.
Anggota komisi VI DPR Yeri Hanteru Sitorus menyebut keputusan itu akan merugikan petani sawit dan merusak industri CPO/minyak goreng.
Mereka para petani sawit akan kehilangan pasar . Padahal biji sawit itu tidak bisa tahan lama. Begitu dipetik harus segera dikirim ke pabrik pengolahan. Kalau tidak biji itu akan busuk. Begitu pula dipabrik kualitas nya akan menurun jika ditahan lama.
Kalau tidak diekspor mau dikemanakan produk sawit itu. Produksi minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri hanya butuh sekitar 5,7 juta ton saja sementara produksi nasional kita mencapai 47 juta ton setiap tahun.
Pendapat Dedi yang kader PDIP itu diamini sejumlah ekonom dan pengamat ekonomi.