Ada yang unik dan menarik dalam UU 34 tahun 2014. Undang undang itu mengatur tentang Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Semua dana haji awalnya berasal dari sisa-sisa biaya penyelengaraan haji dari tahun ke tahun. Setelah sekian lama, dana itu menumpuk dalam jumlah cukup besar. Kita mengenalnya kemudian dengan nama Dana Abadi Ummat (DAU)
Hal unik dalam UU 34 / 2014 itu antara lain ada pasal yang menyebutkan badan itu berprinsip syariah dan nirlaba. Secara umum, pemahaman tentang nirlaba adalah keuntungan tidak menjadi tujuan utama. Tetapi anehnya ada pasal yang lain menyebutkan dana yang dikelolanya harus berkembang. Yang menarik lagi ada ancaman semua usaha yang dilakukan jangan sampai rugi. Kalau rugi maka 14 orang Badan Pengurus dan Dewan Pengurus harus bertanggung jawab secara tanggung renteng. Bahkan mereka terancam pidana.
Bukankah yang demikian itu unik dan menarik ? Bukankah itu kurang lazim karena dapat dirasakan memberatkan mereka yang mengemban otoritas itu ?
Ketika Badan Pengurus dan Dewas dilantik Presiden Jokowi tahun 2017, banyak orang pesimis. Tidak begitu yaqin bahwa mereka akan berhasil mengembangkan dana milik jemaah haji itu.
Mari kita renungi bingkai bingkai yang tampak sangat mengikat kebebasan interpreneurship BPKH itu. Mereka itu ibarat orang disuruh lari kencang tapi kedua kakinya diikat.
Sistim syariah harus kita pahami masih terbilang asing ditengah tengah dominasi ekonomi konvensional. Bahkan sampai sekarang realitas syariah itu masih banyak diragukan.
Dr. Budi Santoso, pakar syariah Salam anggota Dewan Sariah Nasional, menuding praktek syariah itu masih "boong boongan". Jika bank bank syariah benar benar melaksanakan sesuai dengan syariah yang sesungguhnya mereka tidak akan bisa bersaing dengan bank konvensional. Sistim Nirlaba, secara umum itu dipahami sebagai sebuah usaha yang tidak berorientasi pada keuntungan.
Belakangan khusus berkait dengan BPKH disepakati bahwa yang dimkasud nirlaba itu keuntungan usaha bukan milik atau hak BPKH sebagai badan yang mengelola. Semua hasil pengusahaan atau manfaat yang diterima adalah milik dan hak para calon jemaah haji.
Badan hanya memperoleh semacam upah pungut sekitar 5 persen dari nilai keuntungan dan manfaat yang diterima. Bolehlah itu dianalogikan dengan amilin pada pengumpulan zakat.
Tenyata skeptisme, keraguan banyak pihak tidak terbukti kebenaranya. Dalam tiga tahun saja dana itu telah berkembang dari Rp.93 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp.144 triliun pada tahun 2020.