Lihat ke Halaman Asli

dedi s. asikin

hobi menulis

Wartawan Itu Dilahirkan dan Dijadikan

Diperbarui: 2 Februari 2021   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 1976, saya mengikuti Karya Latihan Wartawan di wisma Dirga Niaga Cipayung Bogor. Ada 30 orang wartawan setingkat Redaktur dari berbagai media di seluruh Indonesia.

H. Rosihan Ketua Dewan Pertimbangan PWI Pusat termasuk salah seorang pemberi pelajaran. Menurut dia, wartawan itu memiliki dua keharusan, dilahirkan dan dijadikan. Ia harus memiliki bakat yang tidak selalu bisa dipunyai semua orang. Ada semacam seni yang bisa jadi dibawa dari ajali ya itu bakat yang tidak dimiliki orang lain. Sejak mencari dan mengumpulkan informasi kemudian menuliskannya dalam serangkaian berita yang tersusun rapi enak dibaca dan perlu.

Pada awal keberadaan dan perkembangan jurnalistik di mana pun pendidikan itu tidak menjadi syarat mutlak. Banyak yang hanya berpendidikan tingkat SMP atau Mulo saja. 

Sebut saja misalnya Bung Tomo dan Wage Rudolf Supratman. Bahkan Adam Malik yang melalui profesi wartawan kemudian bisa  jadi Wakil Presiden, SR saja tidak tamat. Kebetulan selain punya talenta jurnalistik, ia juga piawai berpolitik. 

Ada lagi Parada Harahap yang cuma punya secewir ijazah HIS setingkat SD dan memulai pekerjaan sebagai jurutulis di sebuah perkebunan di Sumatra Timur,  menjadi boss perusahaan koran.  Di kemudian hari, ia malah jadi mentor politik bung Karno dan bung Hatta.

Orang/wartawan yang  memiliki modal pendidikan  agak lumayan tinggi mungkin waktu itu  adalah Tirto Adhi Surjo. Ia sempat belajar di stovia sebagai calon dokter. Karena tertarik pada pekerjaan jurnalistik, ia tidak sampai menamatkan pendidikan dokter. Pemilik nama asli RM Djokomono itu sebenarnya berdarah biru. Kakeknya RM Toemenggoeng Tirtonolo adalah seorang Bupati Rajegwesi di Karesidenan Rembang.

Tahun 1907, TAS mendirikan koran Medan Priyayi dan Soeloeh Keadilan. Itulah koran pertama zaman kolonial yang diterbitkan dan diawaki oleh murni orang pribumi. Karena peran dan perjuangannya  itu,  tahun 2006, TAS mendapat gelar  sebagai Perintis Pers Nasional.

Namun nasib TAS termasuk mengenaskan.  Akibat berita-berita koranya selalu menyerang penguasa, ia diadili dan dijatuhi hukuman diasingkan ke Pulau Bacan. Tahun 1918, ia meninggal dunia di Jakarta setelah selesai menjalani pembuangan. Kondisinya mengenaskan. Perusahannya bangkrut antara lain karena banyak yang disita. Sastrawan Pramudya Ananta Tur menyebutnya si Pena Tajam itu mati dalam sunyi.

Setelah kemerdekaan, Pers Indonesia mulai mandiri dan berada dalam naungan pemerintahan sendiri. Sekarang mulai terasa pentingnya pendidikan bagi seorang wartawan. Karena dinamika dan perkembangan juga profesi jurnslistik memerlukan sentuhan pengetahuan. Selain menjadi orang yang paling lebih dulu tahu tentang  informasi, wartawan juga kalau bisa lebih pintar dari publik yang menggunakan jasanya sebagai agen informasi.

Mulailah wartawan mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuannya. Ada yang melanjutkan pendidikan di atas pendidikan yang diperolehnya ketika awal menjadi wartawan. Sekedar pelatihan atau penataran terkadang dilakukan para penerbitan koran yang bersangkutan. Organisasi Pers seperti PWI, SPS dan Serikat Grafika Pers juga sering menyelenggarakan penyegaran bagi wartawan. Demikian juga pemerintah melalui Departemen Penerangan kadang menyelenggarakan pelatihan atau seminar tentang Pers.

Tahun 1958, atas instruksi Presiden Soekarno, Universitas Indonesia mendirikan jurusan Publisistik di bawah Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat. Banyak wartawan yang ikut kuliah sambil bekerja, dan banyak yang berhasil menjadi sarjana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline