Jika saja pandemi covid19 tidak sedang menyerang kita, rasanya Hari Santri Nasional akan tetap menjadi hari yang semarak. Gegap gempita dengan antusiasme para santri, kiyai serta komunitas pondok pesantri lainnya.
Sejak ditetapkan dengan Surat Keputusan Presiden tahun 2015, maka tanggal 22 Oktober resmi sebagai Hari Santri Nasional. Hari itu kemeriahan luar biasa selalu terjadi di mana-mana, di seluruh penjuru negeri.
Tahun lalu tanggal 22 Oktober saya berada di kota Tasikmalaya. Alhamdulillah sempat berpanas-panas terjebak macet. Antrian pawai keliling para santri menyesaki hampir sepenuh kota itu. Maklum kota dan Kabupaten Tasikmalaya secara tidak resmi dijuluki sebagai kota dan Kabupaten santri.
Presiden Joko Widodo memenuhi janji politiknya pada kampanye Pilpres 2014 dengan mendekritkan HSN, setahun setelah kemenangannya dan memimpin negeri ini.
Kata beliau, negara dan masyarakat ingin mengapresiasi dan meneladani peran para santri, kiyai dan komunitas ponpes lainnya kepada perjuangan mencapai, menegakan dan memelihara kemerdekaan republik ini.
Dalam lubuk hati, saya merasa tanpa peran mereka sangat mungkin proklamasi kemerdekaan kita belum terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Entah kapan itu baru terjadi. Tentu saja ini tidak berarti mengesampingkan peran elemen dan komponen perjuangan yang lain.
Marilah kita coba menyimak peran dan keterlibatan para kiyai dan santri.
Mereka selalu terlibat dalam berbagai peperangan melawan tentara penjajah. Dalam perang Padri di Sumatera Barat, perang Aceh di tanah rencong. Yang paling fenomenal adalah perang Diponegoro di tanah Jawa. Karena itu perang Diponegoro juga disebut perang Jawa.
Perang ini merupakan perang terbesar yang pernah terjadi. Kepala raja Willem III pusing tujuh puluh keliling dibuatnya. Perang itu telah menguras pundi-pundi mereka. Konon anggaran perang itu mencapai lebih dari 2 ribu trilyun rupiah. 8000 tentara mereka mati.
Memang tentara kita yang syahid lebih banyak jumlahnya. Itu terjadi tentu karena ketidak seimbangan. Wong ibaratnya "katepel" melawan meriam, wajar kalau korban kita lebih banyak.
Dari laporan intel, raja Willem III yaqin pasti bahwa hebatnya perlawanan anak jajahan itu dipicu oleh keterlibatan kiyai dan santri. Karena itu dia dengan menggandeng rektor universitas Leiden mengirim seorang dosen dan akhli ilmu Islam ke Hindia Belanda ini. Namanya Dr. Christian Snouck Hogrounje.