Tahapan pemilihan kepada daerah (Pilkada) sudah berlangsung sejak awal tahun ini. Pilkada 2024 akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 27 November 2024 mendatang. Tahapan Pilkada yang tengah dilaksanakan adalah proses pemutakhiran data pemilih melalui pencocokan dan penelitian yang dilaksanakan dari 24 Juni - 24 Juli 2024. Sebagai sarana kedaulatan rakyat di daerah-daerah. Pilkada merupakan gerbang awal dalam menentukan arah kebijakan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, atau kota lima tahun ke depan. Meskipun tidak se-ramai Pemilu yang menyelenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg), Pilkada justru jadi fokus utama bagi Partai Politik untuk mengukuhkan dominasi elektoral-nya di daerah-daerah yang menjadi basis massa nya.
Iklim politik daerah berbeda dengan iklim politik nasional. Partai politik di nasional yang tidak menjalin kerja sama saat Pemilu, di daerah-daerah banyak yang kemudian membangun koalisi. Isu yang berkembang pun lebih kompleks dari isu politik nasional. Mulai dari isu nepotisme, kepentingan bisnis, politik uang, eksploitasi sumber daya alam, dan kisruh kesenjangan sosio-geografis di daerah. Isu kekerabatan antar keluarga besar, isu pemekaran daerah dan monopoli kepentingan bisnis, seringkali mewarnai perhelatan Pilkada. Hal tersebut menjadi tantangan bagi partai politik di tingkat daerah, agar kemudian partai politik dapat mengoptimalkan fungsi rekrutmen dan pendidikan politik yang dimilikinya, melalui kaderisasi partai yang berkualitas.
Sayangnya, dominasi partai politik di satu daerah, tidak berbanding lurus dengan kaderisasi partai yang kuat. Kaderisasi yang dilakukan partai setidaknya bertujuan untuk melahirkan tokoh di daerah. Sebab, ketokohan yang kuat dapat menarik suara dalam kontestasi Pilkada. Mengingat kontestan yang seringkali melenggang di Pilkada merupakan tokoh masyarakat atau 'taipan daerah' berpengaruh yang dikader oleh partai. Namun, Alih-laih mencalonkan kader partai nya sendiri, partai politik di tingkat daerah seringkali melirik orang-orang yang tidak dihasilkan dari sistem kaderisasi yang matang. Semisal dari kalangan selebritis atau artis untuk dijadikan calon kepala daerah.
Artis dan Artos
Kemunculan fenomena artis yang terjun ke dalam kontestasi Pilkada memang bukan hal yang baru di Indonesia. Sederet artis pernah ikut dalam Pilkada, ada yang berhasil dan ada juga yang gagal. Sebut saja Lucky Hakim yang menjadi Wakil Bupati Indramayu (2020), Sahrul Gunawan yang menjadi Wakil Bupati Bandung (2020), Sigit Purnomo atau Pasha Ungu yang menjadi Wakil Walikota Palu (2015), Zumi Zola yang menjadi Gubernur Jambi (2016), dan Dede Yusuf yang menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat (2008). Ada pun Rieke Diah Pitaloka, Calon Gubernur Jawa Barat (2013), Ahmad Dhani, Calon Wakil Bupati Bekasi (2017), Inggrid Kansil, Calon Wakil Walikota Bogor (2018), atau Andre Taulany, Calon Wakil Walikota Tangerang Selatan (2010), namun mereka gagal.
Alasan memilih kalangan artis untuk dijadikan calon kepala daerah (Cakada) atau calon wakil kepala daerah (Cawakada) hanya satu: Popularitas. Sebagai public figure, kalangan artis atau selebritis memang menawarkan tingkat awareness yang tinggi di kalangan masyarakat. Popularitas yang dimiliki mereka dapat meningkatkan elektabilitas saat Pilkada berlangsung. Selain popularitas, faktor lain yang dijadikan alasan adalah meringankan bebas cost politik. Dengan menggaet kalangan artis sebagai Cakada atau Cawakada dianggap akan lebih menghemat pengeluaran biaya politik seperti kampanye. Partai politik atau koalisi tinggal memanfaatkan popularitas artis yang mereka usung dan menjadikannya sebagai brand ambassador dari partai poitik atau koalisi.
Selain merangkul kalangan artis, kalangan pengusaha atau 'taipan daerah' pun tak luput dari rangkulan partai politik. Alasannya tentu berkaitan dengan artos (sunda: Uang) yang dimiliki oleh para pengusaha. Pengusaha-pengusaha sering menjadi promotor bagi para Cakada dan Cawakada dalam memenangkan kontestasi Pilkada. Mereka kerap membiayai cost politik seperti kegiatan kampanye, sosialisasi, konsolidasi, atau alat peraga untuk pemenangana pasangan Cakada dan Cawakada. Harapannya, setelah mereka memberikan supporting biaya, perizinan usaha dan bisnis mereka di daerah tersebut dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan.
Sekali lagi, ini menjadi tantang bagi partai politik. Sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam memberikan pendidikan politik untuk rakyat, partai politik harusnya juga ikut andil dalam mencetak kader bangsa yang berkompeten. Tata kelola pemerintahan tidak dapat dijalankan jika hanya mengandalkan popularitas kepala daerah. Tetapi harus dijalankan dengan integritas, kapasitas, dan kapabilitas kepala daerah yang berkualitas. Dan hal tersebut dapat diperoleh salah satunya dari proses kaderisasi partai yang baik. Maka penting bagi partai politik, selain menegakkan demokrasi, juga menegakkan meritokrasi atau kepemimpinan berbasis kepakaran dan kemampuan. Agar menjamin kompetensi dalam kompetisi pemilihan kepala daerah mendatang.
Kaderisasi: Sumber Kepemimpinan Sejati
Kompetensi bukan sesuatu yang dapat diperoleh secara instan. Perlu proses yang panjang dalam membentuk kompetensi pada diri sendiri pun orang lain. Dalam konteks Pilkada, kompetensi Cakada dan Cawakada, sangat penting untuk ditonjolkan. Karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman dan penguasaan masalah yang ada di daerah yang akan ia pimpin. Mengingat setiap daerah memiliki potensi dan ke-khas-an nyan masing-masing, maka penguasaan wawasan kedaerahan merupakan 'harga mati' bagi Cakada dan Cawakada. Bagaimana mereka akan memimpin daerah jika mereka tidak tahu menahu seluk beluk daerah yang akan di pimpin?
Proses penggodokan kompetensi itu salah satunya melalui kaderisasi partai yang baik. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dijelaskan bahwa partai politik memiliki fungsi sebagai saran pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan politik tersebut dapat dijalankan melalui rekrutmen politik yang menjadi bagian dari proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.