Apa jadinya jika di Indonesia tidak ada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ( SKK Migas)? Begitulah pembuka yang disampaikan oleh Bapak Elan Biantoro, narasumber dalam acara nangkring Kompasiana bareng SKK Migas Jum'at, 28 Agustus 2015 di Gedung City Plaza Komplek Wisma Mulia Lt. P9, Jakarta. Menurut beliau, tanpa adanya Migas, mungkin kita akan kembali di zaman atau tahun 90-an. Tak ada transportasi masih manual menggunakan delman, tidak ada internet, handphone, listrik dan lain sebagainya. Begitu pentingnya Migas bak lokomotif energi nasional buat negeri tercinta bernama Indonesia.
Lebih dari satu abad, sejak Indonesia merdeka, bahkan sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda saat itu, pengelolaan Migas sudah menjadi tulang punggung negara dan menyumbangkan devisa negara dibanding sektor lain seperti pajak misalnya. Jadi jelas, pengelolaan minyak dan gas yang sekarang bernama SKK Migas telah memberikan kontribusi besar bagi bagi bangsa Indonesia.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum paham dengan kinerja SKK Migas. Anggapan bahwa Migas di Indonesia dikelola oleh asing itu sepenuhnya tidak benar. Yang benar, SKK Migas menjalin kerjasama dengan kontraktor untuk mengeksplorasi (mencari) dan mengeksplotasi (mengolah) Migas dalam sektor hulu tanpa negara mengeluarkan dana sepeserpun apalagi menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pertanyaan besar mengapa tidak menggunakan teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sepenuhnya?
Masih menurut Pak Elan Biantoro, selaku kepala bagian hubungan masyarakat SKK Migas mengatakan, untuk menemukan dan mengolah Migas dibutuhkan dana dan teknologi yang cukup besar. Dengan melakukan kerjasama dengan pihak lain (kontraktor) tentu negara diuntungkan karena negara tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Jika pun di kemudian hari terjadi resiko maka resiko tersebut tidak ditanggung oleh negara. Maka sampai sekarang sistem kerjasama dengan kontraktor masih dianggap cara yang paling efektif untuk saat ini.
Perumpamaan paling mudah untuk memahamkan hal ini menurut beliau sama halnya dengan orang ketika membeli duren. Orang membeli duren sama halnya dengan negara kita sedangkan penjual durennya adalah kontraktor. Ketika duren yang hendak dibeli terasa pahit atau kurang manis ketika dicoba maka pembeli berhak menolak atau menolak untuk membeli duren tersebut, dan resiko duren yang sudah dibuka adalah resiko si penjual duren.
Perumpamaan lain layaknya orang yang membuat bor sumur. Si tukang bor kita anggap sebagai kontraktor dan si pemilik tanah adalah negara. Jadi, ketika dalam proses pengeboran terbentur dengan batu tidak ditemukan air (dalam hal ini minyak maksudnya) maka si pemilik tanah berhak menolak atau membayar kerugian/ resiko tersebut.
Tepat pukul 16.42 WIB sore, Kompasianer kemudian melakukan tour ke Emergency Response Center (ERC). Dalam tour tersebut rombongan dibagi menjadi dua kloter. Masing-masing kloter terdiri dari 15 orang. Kebetulan saya pribadi masuk kloter pertama yang dipandu oleh Mas Alfian dari SKK Migas.
Sebelum memasuki ruang ERC, Kompasianer harus masuk ke kantor SKK Migas yang ada di lantai 35. Di sana kita disambut oleh team SKK Migas yang ramah antara lain Ibu Panja selaku staff Produksi, Adi Mulawarwan selaku Keselamatan Kerja dan Lingkungan dan beberapa team yang bertugas di sana. Adapun yang mempersentasikan apa itu ERC disampaikan dengan baik oleh Pak Royke. Menurut Pak Royke, fungsi gedung ERC antara lain mengendalikan teknis dan mengendalikan biaya ketika krisis terjadi dengan cepat. Adapun krisis yang dimaksud bukan krisis ekonomi antara lain krisis huru-hara, demo, kegagalan bor dan lain sebagainya.
Secara keseluruhan, acaranya seru banget, terutama saat acara flash blogging berlangsung. Para admin Kompasiana Radja dan Mbak Wardah Fajri juga MC asli gokil banget gangguin kita-kita para Kompasianer yang lagi menulis flash blogging. Kebayangkan, dalam waktu 30 menit Kompasianer disuruh menulis reportase cepat dan digangguin? :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H