Lihat ke Halaman Asli

Kesadaran Hukum bagi Tukang Parkir

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12997400741378758609

[caption id="attachment_95363" align="alignright" width="140" caption="tukang parkir"][/caption] Dewasa ini, dimanapun kita berada, masyarakat Kota Yogyakarta akan selalu dihantui oleh petugas/juru parkir atau yang dikenal juga dengan sebutan tukang parkir yang berada dimanapun kita akan berhenti untuk memarkirkan kendaraan kita. Setiap kali kita berhenti, kita akan memberikan uang Rp.1000,- (untuk motor) kepada tukang parkir tersebut karena mereka sudah tidak mau apabila diberi uang hanya Rp. 500,-. Hal ini mungkin tidak masalah bagi golongan orang menengah ke atas. Namun bagi mahasiswa golongan menengah ke bawah termasuk didalamnya mahasiswa yang belum memiliki penghasilan sendiri, tentunya hal ini sangat memberatkan. Bayangkan saja, apabila kita pergi ke ATM, belanja di tempat perbelanjaan, makan di rumah makan, membeli pulsa maupun keperluan lain, sudah berapa uang yang kita keluarkan dalam satu harinya untuk parkir? Terkadangpun kita dibuat kesal dalam perparkiran. Misalkan kita ke ATM yang hanya membutuhkan waktu kurang dari dua menit, motorpun dalam pengawasan kita atau bahkan terkadang berada disamping kita. Akan tetapi ketika kita hendak meninggalkan ATM tersebut, tiba-tiba muncul tukang parkir yang langsung menagih uang kepada kita. Cara penagihannya pun terkadang dilakukan dengan paksaan tanpa ada sopan santun sehingga membuat kita menjadi tidak simpatik atau ikhlas menyerahkan uang tersebut. Melihat hal yang demikian, ada baiknya kita melakukan sedikit penelitian sosial untuk memahami permasalahan tersebut. Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum mengatakan Penelitian sosial merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala sosial tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta sosial tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. Ada baiknya pertama-tama kita memahami terlebih dahulu Peraturan Daerah Kota yang mengatur mengenai masalah perparkiran tersebut. Perda nomor 18 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran :

  • Pasal 1

13. Petugas Parkir adalah orang yang dipekerjakan oleh Penyelenggara Tempat Parkir sebagai tukang parkir pada Tempat Khusus Parkir. 14. Juru Parkir adalah orang yang ditugaskan pada tempat parkir di tepi jalan umum berdasarkan surat tugas. Berdasarkan pasal 1 angka 13 dan 14 tersebut kita dapat mengetahui bahwa dibedakan antara petugas parkir dan juru parkir yang merupakan istilah resmi.

  • Pasal 5

Juru Parkir wajib: a. menggunakan pakaian seragam, tanda pengenal serta perlengkapan lainnya yang ditetapkan oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk; (hal ini juga berlaku bagi petugas parkir dan juru parkir tempat parkir tidak tetap). d. menyerahkan karcis parkir sebagai tanda bukti untuk setiap kali parkir pada saat memasuki lokasi parkir dan memungut retribusi sesuai dengan ketentuan yang berlaku; e. menggunakan karcis parkir resmi yang diterbitkan Pemerintah Kota Yogyakarta yang disediakan untuk satu kali parkir dan tidak boleh digunakan lebih dari satu kali; (untuk petugas parkir karcis yang diserahkan bukan karcis resmi). Dalam realita yang dapat kita temukan sehari-hari, ketentuan pasal 5 ini yang paling sering dilanggar. Dalam pasal 5 huruf a, cukup banyak ditemui juru parkir maupun petugas parkir yang menggunakan atribut yang diwajibkan kepadanya. Demikian juga dengan pasal 5 huruf d, sangat jarang kita diberikan karcis apabila kita memarkirkan kendaraan kita. Kita hanya diminta untuk membayar namun tidak diberikan tanda bukti pembayaran. Setali tiga uang demikian juga dengan pasal 5 huruf e. meskipun pada saat kita memarkirkan kendaraan kita diberikan karcis parkir resmi oleh juru parkir, namun pada saat kita hendak mengambil kembali kendaraan kita, kita diminta untuk menyerahkan kembali karcis tersebut dengan alasan sebagai tanda bukti kepemilikan kendaraan. Apabila diperhatikan karcis yang kita dapatkan bukanlah karcis baru melainkan karcis yang telah digunakan. Apabila lebih jauh lagi diperhatikan, karcis yang telah diserahkan kembali itu tidak dirobek atau dimusnahkan oleh juru parkir tersebut. Sebagaimana diatur dalam Perda nomor 19 tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, telah ditentukan besarnya tarif parkir yang dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan I dan kawasan II. Hal inipun terkadang disimpangi dimana seharusnya suatu kendaraan berada di kawasan II, akan tetapi oleh tukang parkir tersebut dikenakan tarif parkir kawasan I yang nominalnya lebih besar dibandingkan kawasan II. Alasan perbuatan tukang parkir tersebut tentunya dapat dipahami dengan melihat berbagai faktor. Diantaranya ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Tentunya hal ini tidak dapat dikatakan sebagai adat istiadat karena bukan merupakan perbuatan yang baik. Faktor pendidikan menimbulkan kaedah sopan santun dilanggar atau diabaikan terkadang kitapun tidak berani melawan sehingga yang dapat dilakukan adalah pasrah yang menimbulkan celaan, umpatan dan cemoohan hanya didalam hati saja. Sanksi ini tidak terlalu dirasakan sehingga dikhawatirkan tukang parkir tersebut akan mengulangi perbuatannya lagi karena sanksinya dirasakan terlalu ringan. Faktor kebiasaan menimbulkan tukang parkir menganggap benar perbuatan yang dilakukannya. Padahal perlu diingat bahwa beberapa kewajiban tidak dapat dituntut pemenuhannya menurut hukum secara paksa. Misalnya kewajiban yang berhubungan dengan apa yang dinamakan perikatan alamiah (obligation naturalis/natuurlijke verbintenis), yaitu suatu perikatan yang tidak ada akibat hukumnya. Maksudnya adalah hubungan hukum dalam harta kekayaan yang menimbulkan hak bagi pihak yang satu atas suatu prestasi dari pihak yang lain, sedang pihak yang lain wajib melakukan prestasi untuk pihak satunya. Jadi perikatan alamiah adalah perikatan yang boleh dikatakan tidak sempurna, yang tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya menurut hukum. Guru Besar FH UGM, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH dalam bukunya mengenal hukum mengatakan "Karena kaedah hukum itu melindungi kepentingan manusia maka harus ditaati, dilaksanakan, dipertahankan dan bukan dilanggar." Akan tetapi untuk melaksanakan kaedah hukum tersebut harus ada kemauan dari penguasa karena yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum adalah penguasa, karena penegakan hukum dalam hal ada pelanggaran adalah monopoli penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Akan tetapi sebagaimana yang kita lihat realitanya pengawasan yang dilakukan oleh penguasa, dalam hal ini Pemerintah Kota Yogyakarta kurang dirasakan. Padahal hal ini sudah diatur di dalam Perda yang telah mereka buat dan terapkan demikian pula dengan sanksinya. Harapan yang tersisa adalah kembali kepada tukang parkir itu sendiri dapatkah timbul kesadaran hukum di dalam diri mereka. Menurut Paul Scholten, kesadaran hukum merupakan suatu kategori, yaitu pengertian yang aprioristis umum tertentu dalam hidup kejiwaan kita yang menyebabkan kita dapat memisahkan antara hukum dan kebatilan (tidak hukum) yang tidak ubahnya dengan benar dan tidak benar, baik dan buruk. Merupakan kewajiban kita semua untuk menyadarkan saudara-saudara kita yang berprofesi sebagai tukang parkir agar dapat memahami pentingnya kesadaran hukum tukang parkir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline