Penetapan wabah Coronavirus Disease -2019 atau yang lebih mudah disingkat Covid-19 tepat pada 3 Maret 2021 lalu telah menginjak usia satu tahun setelah di umumkan sebagai Bencana Nasional oleh pemerintah melalui Kepala BNPB yaitu Doni Munardo.
Covid-19 yang dengan kemunculan dan penyebarannya yang sangat cepat mendadak viral baik di jagat raya maupun jagat maya. Bak artis yang mengalami star syndrome tidak puas pada satu negara, hanya dalam hitungan nafas mulai tersebar pengaruhnya di seluruh dunia, termasuk negara Indonesia yang pada mulanya banyak yang tidak percaya, bahkan ada yang mengatakan bahwa Covid -19 tidak akan masuk ke Indonesia karna rakyat Indonesia doyan makan nasi kucing, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Corona tidak akan bisa masuk ke Indonesia karena izinnya yang berbelit-belit (weleh weleh kok bisa berfikir gitu ya).
Covid -19 bukan Dewa -19 yang bisa dengan mudah masuk dan diterima oleh masyarakat. Sejak awal ketenarannya, selalu membuat gaduh dan meresahkan masyarakat sehingga semua orang cenderung untuk menghindari bahkan takut untuk menghadapinya. Menurut saya kalo si covid ini berwujud pasti sudah banyak orang yang melaporkan dengan pasal yang berlapis lapis tentunya.
Covid-19 dengan tidak tau dirinya tidak mengenal suku, ras, agama, golongan, gender, bangsa maupun negara, semua orang sama di hadapan corona. Mulai dari buruh tani, mahasiswa, rakyat miskin kota semua tidak ada yang kebal (kecuali mungkin PNS yang katanya harus tetap bekerja di tengah pandemi).
Dalam menghadapi wabah Corona Virus ini berbagai upaya gencar dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya penyebaran. Mulai dari himbauan, larangan, tuntutan, maupun kutukan, tidak lupa sesekali melakukan penyisiran dengan terjun ke lapangan. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk ikhtiar nyata, yah walaupun Masih ada segelintir kelompok yang menganggap bahwa hal itu hanya sekedar pencitraan saja biar pemerintah terlihat bekerja. Sangat disayangkan memang di tengah situasi yang seperti ini masih ada sebagian kelompok yang memanfaatkannya untuk meraih popularitas, akseptabilitas, maupun elektabilitas.
Media sosial di era dunia maya yang amat demokratis ini tidak dijadikan sebagai alat untuk memberikan informasi yang akurat, cepat, sederhana dan biaya ringan, tapi malah dijadikan untuk menimbulkan kegaduhan, dan perpecahan, bahkan tidak sedikit yang membuat teori konspirasi dengan versi masing-masing.
Imam Ghozali mengatakan bahwa kerusakan suatu kaum disebabkan oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi, namun ingin ikut campur dan berkomentar padahal hal tersebut di luar kemampuannya.
Sampai tulisan ini dibuat, jumlah kasus terkait Covid-19 terus bertambah bahkan mulai merambat ke lingkungan pondok pesantren. Berdasarkan informasi yang di ambil dari Kompas.com, pada klaster pesantren ratusan santri positif corona, bahkan pada daerah tertentu klaster pesantren termasuk ke dalam penyumbang kasus covid tertinggi.
Dengan adanya kasus tersebut, senantiasa kita saling introfeksi diri, karena ini adalah masalah kita bersama, jangan saling menuduh maupun menyalahkan tidak baik untuk kesehatan loh.
Menanggapi fenomena tersebut berbagai kebijakan dilakukan oleh pihak pondok pesantren, mulai dari dilakukan tes swab supaya bisa dipilah dan dipilih bagi para santri yang diidentifikasi positif corona biar lebih cepat ditangani dan yang diidentifikasi negatif agar segera di pulangkan untuk melakukan isolasi mandiri selama waktu yang di tentukan.
Dengan adanya kebijakan tersebut, tentu berpengaruh terhadap sistem dan kegiatan belajar mengajar, mengingat transfer of value dengan pembelajaran online tidak akan tersampaikan secara penuh. Perlu kita sadari bahwa lingkungan pesantren sangat berpengaruh terhadap proses caracter building yang tidak bisa dirasakan dari rumah.