Lihat ke Halaman Asli

DW

Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Arogansi Mematikan Nurani

Diperbarui: 8 Maret 2023   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perilaku arogansi segelintir orang yang viral belakangan ini memunculkan pertanyaan besar dalam benak saya.

Apa sih yang membuat mereka bisa berubah searogan itu? 

Apakah ketika mereka melakukan tindakan kasar kepada orang lain, nurani mereka tidak merespon? atau memang sudah mati rasa?

MDS, anak pejabat, GR, pengemudi Fortuner, atau seorang oknum aparat yang mengancam pengemudi lain di jalan raya dengan senjata tajam, hanya segelintir orang yang terekspos media karena sikap arogannya. Saya yakin masih banyak orang-orang yang tidak tertangkap kamera dengan bangga menunjukkan sikap arogannya.

Apa yang dimaksud dengan sikap arogan?

Mengacu dari artikel dan Wikipedia, definisi arogan adalah bentuk dari sikap maupun emosi yang terdapat di dalam hati yang bersifat akan dimanifestasikan ke dalam sebuah sikap suka memaksa dan juga pongah. 

Dari definisi tersebut bisa diasumsikan bahwa sikap arogan itu bukan tindakan spontan yang timbul, bukan ledakan emosi yang tidak tertampung.. bukan. Arogan itu memang terbentuk dan tertanam, bisa melalui pola asuh, lingkungan sekitar dan terkadang kekuasaan yang didapatkan dengan mudah. Merasa diri lebih baik, lebih hebat, lebih berkuasa, lebih penting, lebih mulia dari orang lain membuat arogansi itu timbul. Sehingga ketika ada kejadian yang membuat ia "merasa kalah" ia akan tunjukan arogansi itu dengan tindakan. Sebagai bentuk ultimatum bahwa ia adalah orang yang lebih baik dan lebih hebat. Ketika ia masih dianggap kalah, ia akan terus meyakinkan orang itu melalui tindakan, hingga orang itu mengaku kalah. 

Perilaku yang ditunjukan macam-macam, walau lebih banyak perilaku yang distruptif, merusak, menghancurkan, dan melukai orang lain. Ada juga perilaku yang tidak kalah kejinya, jika ia atasan, maka ia dengan mudah memutasi orang lain, menghilangkan hak orang lain, demi melegitimasi dan menegaskan bahwa ia lebih berkuasa.

Jelas, arogan dan emosi meledak itu dua hal berbeda. 

Sederhananya, ketika kita mengendarai mobil dengan tenang lalu tanpa disengaja ada pengendara motor (sebut saja si Abang) yang membuat baret kendaraan kita, lalu kita tersulut emosi karena merasa si Abang yang salah. Kita terpancing emosi, melabrak pengendara motor itu, lalu si Abang itu menunduk lesu, meminta maaf, dan berjanji akan mengganti rugi. Apa yang terjadi? 

Pasti emosi kita akan mereda. Kita akan lebih tenang menyikapi situasi itu, bisa berpikir jernih menimbang segala aspek; untung rugi, malu dilihat orang banyak, melihat sisi positifnya (ah untung cuma baret doang), dan kemungkinan kita berdamai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline