Lihat ke Halaman Asli

DW

Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Pikiran adalah Semesta

Diperbarui: 8 Maret 2021   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.gambar.pro

Pikiran Anda adalah nasib anda,
Apa yang Anda pikirkan akan menjadi plafon tertinggi pencapaian Anda.


Banyak kalimat powerful yang bisa kita temui dari tulisan, buku, artikel maupun quote motivator mengenai betapa powerfulnya pikiran.
Saya mengamini semua kalimat yang saya temui dan mencoba menyarikan betapa pikiran kita memegang kendali atas kehidupan diri kita.

Dalam dunia kerja, kita akan berhadapan dengan target, KPI dan deadline yang memacu pikiran kita, apakah kita berani menetapkan target tinggi atau justru bermain aman. Saya termasuk orang yang lebih bermain aman, saya lebih suka bekerja secara tetap, tertata dan terkelola dari sisi waktu. Di sisi lain, saya merasa pesimis dengan target yang tinggi, menyadari bahwa situasi pandemi membuat banyak klien kami tidak memprioritaskan program pelatihan. Jadi saya lebih memilih bermain aman dan menghindari resiko.

Tapi ternyata sikap saya ini tidak tepat.

Dengan bermain aman tanpa saya sadari saya membuat diri saya ada di zona nyaman, yang membuat saya merasa semua baik-baik aja, tidak memiliki keinginan "lebih", dan merasa cukup dengan yang saya lakukan. Saya lupa bahwa kenyamanan saya ini membuat saya gelisah, karena saya merasa ketergantungan pada sesuatu yang pasti, dan itu berbahaya.

Layaknya roda, keseharian saya hanya menggelinding diam di tempat, berputar tetapi tidak bergerak maju. Saya tidak bertumbuh, dan hanya menjadi orang biasa. Ibarat spiral, kehidupan saya spiral yang menurun, tidak naik. Mengapa saya bisa seperti ini? mungkin karena saya "membunuh" keunikan dan keberanian saya karena dampak pandemi yang sempat menghantam mental saya dan keluarga.

Dulu saya orang yang termasuk idealis, ingin mendobrak keterbatasan, memilih menjadi orang yang berbeda, karena orang kebanyakan sudah berserakan dimana-mana, saya ingin berbeda, ingin menjadi pemenang. Dimana pikiran merdeka itu semua? dimana gairah dan pikiran berani itu? seperti mereka tertidur lelap, dan ketika mereka ingin siuman saya langsung "membius" mereka atas nama kebaikan bersama, kebaikan saya dan keluarga. 

"Ketika orang-orang menghapus mimpinya, mengendurkan semangat juangnya, dan memilih hanya menjadi orang biasa saja, maka seketika itu pula perjuangan hidup mereka berakhir. Mereka tidak tumbuh dan akan terus tetap menjadi orang biasa"

Kalimat tajam ini mampir ke laman media sosial, kalimat yang mungkin biasa saja, tetapi terasa menyakitkan bagi orang yang memendam impiannya. Kalimat ini tidak memiliki rasa, tetapi sungguh berasa bagi orang yang harus dipaksa realistis karena pandemi. 

Pelan saya simak kalimat ini, saya resapi dan menyadari bahwa keistimewaan saya tidak terlihat lagi. Arus kehidupan telah menghanyutkan dan menenggelamkan saya, membuat impian-impian saya sepertinya jauh.


Berani bermimpi adalah bentuk rasa syukur kita, tuhan telah melimpahkan sumber daya dalam diri kita. Ketika kita berani mengambil sikap besar dan menetapkan target yang tinggi kita setidaknya kita mengoptimalkan fungsi kita sebagai manusia untuk bermanfaat bagi orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline