Lihat ke Halaman Asli

DW

Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Refleksi Diri: Ekspektasi atau Apresiasi

Diperbarui: 1 Maret 2021   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Halo sahabat pembaca,

Senang sekali saya diberikan kesempatan menyapa kembali, setelah hampir setahun dari terakhir saya berinteraksi di Kompasiana.

Hari ini saya terpacu untuk kembali aktif menulis, dan berbagi opini dimedia ini., mengapa? karena ini adalah bulan "Anniversary" Jeng Corona bin Covid, yaa bulan maret ini tepat sudah setahun Indonesia dilanda wabah pandemi ini, dan setahun sudah kehidupan kita berubah drastis.

Tapi bukan lagi tentang keganasan wabah ini yang ingin saya bagikan, tetapi lebih kepada bagaimana corona ini menjadi sebuah "games changer" yang merubah semua tatanan kehidupan manusia namun juga menjadi sebuah dorongan kita menjadi pribadi yang baru. Dengan kata lain, ada lho makna positif dari munculnya wabah ini, dan ini patut kita syukuri.

Koq bersyukur sih?

Wait jangan julid dulu, biarkan tulisan ini mengalir dulu dibenak anda.

Maret 2020

Diantara riuhnya pemberitaan mengenai bahayanya Corona yang hilir mudik dilayar gadget baik dari WA Group maupun media social, dimaret 2020 akhirnya "resmi" corona menyerang RI. Dimulai dari konferensi pers mengenai pasien 1 dan 2 yang terindentifikasi positif corona, sampai gossip yang muncul tentang latar belakang korban.

Saat itu, saya mencoba membatasi diri, berusaha tidak terlalu panik dan memberikan pemahaman ke keluarga bahwa kita harus berhati-hati. Mulai menstok komoditas yang belum pernah kami beli sebelumnya, yaitu masker dan handsanitizer.

2 Minggu sejak conferensi pers berlalu, sah sudah, corona menjadi trending topik diantara warga pemukiman kami, mulai diperlakukan pengetatan, warga dilarang berkumpul, masjid dihimbau tidak mengadakan sholat berjamaah dan lain sebagainya.

Jujur diawal-awal corona menyerang, saya lebih mengkhawatirkan keberlangsungan ekonomi keluarga, dimana saat itu porsi cicilan yang cukup besar ditambah kami tidak memiliki tabungan untuk jangka Panjang. Plus anak-anak yang harus belajar dari rumah, artinya kami sebagai orang tua harus menyiapkan gadget khusus untuk mereka bisa belajar. Dan kekwahatiran saya terbukti, perusahaan pun memberlakukan WFH, dan kami tidak punya pilihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline