Lihat ke Halaman Asli

DW

Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Belajar Memantaskan Diri

Diperbarui: 15 Oktober 2018   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantas (cocok), kata yang sering kita tanyakan kepada orang lain ketika kita mencoba sesuatu yang baru. Misalnya, mencoba baju baru, mencoba potongan rambut baru, ataupun ketika mendapat pasangan baru.. he..he..he.. Sering kita bertanya ke orang lain; "gimana, pantas gak? sudah cocok belum?".

Kepantasan sering menjadi sebuah ukuran diri. kepantasan seperti sebuah pengakuan yang kita harapkan dari orang lain. Ketika orang mengatakan "sudah pantas" atau "cocok kali pun" seolah itu menjadi stempel yang kita butuhkan dari orang lain. Seolah ketika kita mendapatkan stempel itu kita sudah bertindak benar dan menyenangkan orang lain. Padalah konfirmasi pantas atau tidak pantas, harusnya bukanlah dari pengakuan orang lain, tetapi harus dari kesadaran kita sendiri. 

Setiap manusia dianugerahi hasrat yang disebut "keinginan". Yang miskin ingin kaya, yang kaya ingin tambah kaya, yang saat ini memiliki gaji x, ingin extra XX, dan masih banyak keinginan lainnya. Semua keinginan berorientasi kepada kepuasan batin, baik berupa keinginan yang bersifat materi maupun non-materi. Jika keinginan terwujud menjadi gembira, jika tidak akan gundah gulana. Inilah tabiat keinginan, dan sayangnya keinginan sering tidak berjalan lurus dengan kepantasan.

Saya (mungkin juga anda) sering terjebak dengan keinginan yang sebenarnya belum pantas, ketika kita memaksakan membeli mobil, padahal kita tahu persis bahwa kita belum pantas betul memilikinya, kemudian gejolak keinginan membutakan mata kita dan mencoba mencari pembenaran dengan berbagai alasan seperti "kasihan keluarga kalau butuh pergi kemana-mana selalu naik grabb", atau supaya juga tidak kalah dengan tetangga kanan kiri yang sudah punya mobil. Tindakan atas pembenaran ini kita lakukan dengan berbagai cara salah satunya memaksakan diri untuk membelinya secara kredit. Sesaat kita akan merasa bangga karena kita mampu mewujudkan apa yang kita inginkan, tetapi lambat laun kita akan menyadari bahwa situasi ini adalah jebakan dari keinginan.

Belajar Memantaskan Diri

Saya suka belajar dari orang lain, khususnya dari pengalaman hidup orang lain. Karena saya percaya ada pembelajaran penting dari perjalanan hidup orang lain yang bisa kita jadikan panduan. Beruntung saya dapat kesempatan belajar dari tetangga kantor kami, kami sudah saling mengenal, tapi tidak terlalu dekat. Namun belakangan kami sering bertemu di masjid lingkungan kantor. Figur beliau yang tenang, selalu tersenyum, menarik saya untuk mengajak ngobrol beliau. Dan bagi saya, ini adalah sebuah kesempatan yang berharga bisa mendapatkan ilmu kehidupan dari beliau. 

Beliau memberikan pemahaman akan makna sebuah kepantasan diri. Bahwa kepantasan diri bukan semata duniawi, tetapi juga rohani. Saya memetik satu poin pembelajaran penting bahwa untuk bisa pantas mendapatkan rezeki lebih, maka kita harus memantaskan diri dulu dihadapan Allah, kita perbesar dahulu wadah rezeki kita, ketika Allah melihat kita pantas mendapat rezeki lebih dan tanggung jawab lebih, maka mudah bagi-Nya menaikan derajat kita. Belajar memantaskan diri bukan berarti memaksakan kehendak menjadi seseorang yang dikatakan pantas, belajar memantaskan diri disini mencoba memahami ensensi dari pemahaman kepantasan. Ukuran kepantasan bukan dari acungan jempol di facebook, atau tanda love di instagram. Ukuran kepantasan yang kita butuhkan adalah ketika Allah ta'ala memberikan kita tanggung jawab lebih. Allah hadir dalam setiap diri manusia, ketika kita mengingkan sesuatu akan ada sebuah isyarat yang dihadirkan Allah sebagai petunjuk umatnya.

Ketika kita 'ingin' naik gaji, sebaiknya tanyakan dulu apakah yang saya berikan kepada perusahaan 'sudah pantas'. Ketika kita 'ingin' mobil baru, tanyakan dulu pada diri anda apakah keuangan anda 'sudah pantas'. 

Mak..jleb.. Koq gue banget yaa yang disampaikan.. 

Obrolan kami semakin dalam, beliau melihat mimik muka saya yang mulai gelisah karena sadar bahwa semua cicilan yang membebani saya didorong oleh hasrat keinginan, tanpa memahami apakah saya sudah pantas atau belum.

"Saya masih belajar banyak untuk menjadi pribadi yang selalu dengan sadar untuk bertanya sebelum mengambil keputusan, khususnya kepada pemiliki kehidupan ini. Karena saya yakin, sebaiknya tempat memohon petunjuk adalah Ia Yang Maha Besar."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline