Lihat ke Halaman Asli

Deddy Rusdiana

Entrepreneur yang sedang belajar

Apa Salahnya Mengejar Harta

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika di Tanya ke setiap orang apakah uang atau harta tujuan utama hidup anda ? maka sebagian besar akan menjawab tidak, meskipun uang dan harta adalah faktor pendukung utama. Tapi lihatlah yang terjadi disekitar kita selama ini, angka korupsi yang sangat besar. Hampir semua lapisan masyarakat mendewakan harta dan uang. Sangat berkebalikan dari apa yang telah di pikirkan kebanyakan orang tadi. Orang orang sanggup mengurangi waktunya untuk bertemu keluarga, bertemu anaknya untuk mendengar kisah yang di lakukan selama setiap harinya, mengikis rasa malunya untuk sekedar mengejar harta, bahkan yang lebih lagi adalah mengurangi waktu beribadah. Tetapi tak sanggup untuk mengurangi jam kerjanya, produktifitasnya bahkan selalu memanfaatkan celah sekecil apapun untuk dapat memompa kekayaan dan keuntungan sebesar besarnya.

Jika dihadapkan pada kenyataan tersebut selalu jawabannya adalah keluhan : “kita tak bisa hidup hanya dengan makan saja, tapi kita butuh susu, suplemen dan vitamin agar tubuh kita semakin sehat dan bahkan akan bermetamorfosis menjadi keamanan material dan kenyamanan hidup yang tak dapat di duga batasnya.

Tapi apa salahkah kita selalu mengejar harta, penumpukan harta ? dimana letak salahnya ? jawabnya sangat simple bumi beserta isinya terbatas. Isinya semakin lama semakin berkurang. Nyaris habis. Hampir semua orang berpendidikan tahu tentang hal itu. Tapi siapakah yang paling banyak menghabiskan bumi kita ? Materialisme sebagai ajaran hidup di jauhi sebagai cara hidup, tapi akah di peluk dengan erat bahkan lebih mesra dan bernafsu ketimbang pacar kita sendiri. Dualisme itu hanya menghasilkan rasa bersalah yang sangat dalam yang selalu mengingatkan kita, bahkan ketika rasa bersalah itu muncul dan tak sanggup lagi untuk di tolak, kita tetap tak sanggup untuk menggunakan energi kita untuk membalikkan arah kehidupan yang sudah salah kaprah ini. Mind set kehidupan yang di dalamnya berisi hitung hitungan keamanan, kenyamanan, dan kebanggan materi menuju hidup itu sendiri.

Beban-beban semacam itu seringkali malahan mendorong kita untuk mematikan system syaraf dalam kepala kita sendiri yang selalu mengingatkan kita akan ada sesuatu yang keliru. Mematikan kemampuan kita berefleksi. Kita cenderung ingin mengatakan, “Ah well, Whatever, Nevermind, Gak apa lah” . Persis itu yang terjadi, kita menolak untuk memikirkan konsekuensi jangka panjang cara hidup kita, dan menjadi robot robot yang di gerakkan oleh system dunia yang bernama kapitalisme, nafsu untuk memupuk kekayaan.

Mengapa kita masih merasa kekurangan meskipun gaya hidup kita jauh lebih baik di banding gaya hidup bapak, ibu, kakek dan nenek kita ? Jawabannya adalah kita selama ini selalu terkungkung oleh satu system yang bernama KOMPETISI. Sadarkah kita bahwa kita selalu menanamkan nilai duniawi terus menerus kepada anak cucu kita. Ambillah satu contoh. Kita selalu membandingkan anak cucu kita di bandingkan dengan teman yang lainnya. Mulai dari nilai di sekolah, kemampuan bersosialisasi, keahlian bermain bahkan sampai membandingkan cara berpakaian mereka. Secara langsung kita membangun mindset anak cucu kita dengan budaya “saya harus lebih baik dari yang lain”dalam segala hal hal yang dianggap berharga. Coba simak lagi kata berharga, kata itu sering kita pakai sebagai adjective untuk segala segala system nilai yang kita peluk. Dari mana asal kata berharga, jika bukan dari kamus perdagangan. Perdagangan rupanya telah merasuki cara kita berbudaya dan berbahasa.

Kompetisi tidak akan pernah usai sepanjang masih ada satu competitor. Kapan kompetisi akan berhenti ? wallahu a’lam bishawab  mungkin kita akan berhenti dari sifat kerakusan kita setelah di alam dunia ini hanya tinggal kita seorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline