Kelimpahan sumber daya alam terkhusus di bidang pertambangan mineral merupakan tanggung jawab serta kebahagiaan tersendiri bagi Negara Indonesia. Variasi dari bahan tambang yang dimiliki Indonesia cukup banyak, dan termasuk didalamnya mineral yang sangat penting untuk kehidupan manusia contohnya Aluminium. Unsur Kimia berwarna putih keperakan dengan nomor atom 13 ini merupakan logam yang ringan yaitu sekitar ⅓ dari berat baja dengan volume yang sama, konduktivitas listrik yang baik jika dibandingkan dengan konduktivitas tembaga yaitu dua kalinya, konduktivitas termal (kemampuan untuk menyebar panas atau pendinginan energi) dengan cepat, memiliki ketahanan terhadap korosi atau karat yang relatif tinggi, tidak bersifat toksik atau beracun, mudah dibersihkan dari kotoran kotoran seperti debu, elastisitas yang cukup baik bahkan dapat ditarik menjadi kawat, dan mudah dilapisi oleh cat. Aluminium juga dapat mengalami modifikasi apabila ditambahkan dengan paduan logam lainnya sehingga karakteristik dari paduan aluminium dan logam lain tersebut dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan. Perpaduan yang tepat akan menghasilkan kekuatan yang tinggi sehingga dapat menahan tekanan berat dan beban – bahkan dapat mengimbangi kekuatan baja. Karakteristik Alumunium tersebut kemudian dimanfaatkan dalam beberapa bidang di dalam kehidupan, seperti bangunan dan konstruksi, pengemasan (misalnya untuk makanan, minuman, dan obat-obatan), transportasi (misalnya bahan pembuatan kapal, kereta api, bus, kendaraan bermotor, dan pesawat), industri otomotif (banyak digunakan dalam beberapa bagian mobil), dan peralatan listrik seperti bahan utama pembuatan kabel.
Aluminium yang tersedia di alam tidak dalam bentuk siap pakai, namun dalam bentuk senyawa yang bergabung dengan unsur lain. Aluminium tersebut berada didalam senyawa yang kemudian disebut Bauksit. Bauksit (sumber utama aluminium) merupakan bahan heterogen yang terdiri dari beberapa mineral penyusunnya yaitu berupa mineral buhmit (Al2O3H2O) dan mineral gibsit (Al2O3.3H2O) yang mengandung Al2O3 (oksida aluminium) sebanyak 45% – 65%, SiO2 1% – 12%, Fe2O3 2% – 25%, TiO2 >3%, dan H2O 14% – 36%. Bauksit ditemukan pada tahun 1821 oleh geolog bernama Pierre Berthier. Pemberian nama sama dengan nama desa Les Baux di selatan Perancis. Sedangkan di Indonesia, Bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1924 di Kijang, Pulau Bintan, di Provinsi Kepulauan Riau. Daerah tropika dan subtropika yang memungkinkan pelapukan sangat kuat merupakan tempat pembentukan bauksit. Batuan sedimen yang memiliki kadar Al tinggi, Fe dan SiO2 yang relatif rendah merupakan batuan pembentuk bauksit (misalnya sienit dan nefelin yang berasal dari batuan beku, batu lumping dan batuan serpih). Proses laterisasi yang dilanjutkan dengan proses dehidrasi akan mengeraskan batuan tersebut dan kemudian menjadi bauksit Hal ini menjadikan Indonesia harusnya semakin bersyukur memiliki sumber daya alam yang melewati proses pembentukan yang sangat panjang dan Indonesia menjadi tempat dari proses yang panjang tersebut terjadi.
Penambangan Bauksit dilakukan dengan penambangan terbuka. Bijih Bauksit dari tambang tersebut diproses untuk meningkatkan kualitasnya dengan cara “dicuci” dan dipisahkan dari unsur lain yang tidak diinginkan seperti kuarsa, lempung dan pengotor lainnya. Bauksit merupakan material dasar untuk memproduksi alumina yang akhirnya menghasilkan aluminium. Pengolahan untuk mendapatkan aluminium terjadi dalam dua tahap yaitu Proses Bayer (pemurnian bijih bauksit untuk memperoleh aluminium oksida atau biasa disebut alumina) dan Proses Hall-Heroult atau juga disebut elektrolisis garam lebur (peleburan aluminium oksida untuk menghasilkan aluminium murni). Pengolahan Bauksit yang dihasilkan dapat berupa Smelter Grade Alumina (SGA) dan Chemical Grade Alumina (CGA), dimana hampir 90% dari pengolahan bauksit di dunia menghasilkan SGA (salah satu faktor penyebabnya adalah SGA merupakan alumina yang menjadi bahan baku menghasilkan aluminium murni). Konsumsi alumina didalam negeri tergolong sedikit karena terbatasnya pabrik yang mengolah alumina tersebut. Contoh perusahaan pengolah alumina adalah PT. Inalum (Indonesia Asahan Aluminium) yang menghasilkan aluminium dasar untuk diproses lebih lanjut menjadi bahan siap pakai. Hal ini juga sangat mendukung investor didalam pembangunan smelter terkhusus untuk alumina. UU nomor 4 tahun 2009 (biasa disebut juga Undang Undang Minerba) menjadi bahan pertimbangan yang sangat mempengaruhi masa depan proses pengolahan mineral dalam negeri karena berdasarkan undang-undang tersebut diperlukan usaha yang lebih dari para pengusaha pertambangan untuk memproses mineral hasil tambang hingga mencapai posisi hilir.
Hasil pertambangan bauksit seluruhnya masih harus diekspor, kemudian diproses lebih lanjut di luar negeri untuk menghasilkan alumina yang kemudian diimpor lagi untuk memenuhi kebutuhan aluminium dalam negeri. Data USGS (United States Geological Survey) tahun 2013 mencatat bahwa sumber daya bauksit Indonesia merupakan yang terbesar ke-6 di dunia dan tingkat produksinya berada di peringkat ke-4 di dunia setelah Australia, China dan Brazil. Jika dilihat periode 2003 hingga 2012, volume impor alumina mencapai 537,1 ribu ton sementara itu berdasarkan data dari Badan Geologi ESDM tercatat sumber daya bauksit Indonesia mencapai 838,9 juta ton dengan cadangan terkira sebesar 149,5 juta ton dan cadangan terbukti 152,8 ton dan secara geografis menunjukkan bahwa cadangan terbesar bauksit Indonesia ada di wilayah Kalimantan Barat. Website world-aluminium.org juga memberikan data penghasil aluminium pada tahun 2010, dan China merupakan produsen terbesar. Data lain juga menunjukkan bahwa produsen bauksit terbesar adalah Australia sedangkan produsen terbesar alumina adalah China yang memiliki cadangan dibawah Indonesia.
Smelter adalah tempat peleburan logam dan merupakan bagian penting dari sebuah proses produksi logam siap pakai. Bahan hasil tambang (biasa disebut run of mine) masih mengandung banyak pengotor yang tidak diperlukan dalam persentase cukup besar, sehingga serangkaian proses harus dilakukan. Tahap awal dari proses tersebut adalah pengolahan bahan galian supaya menghasilkan bijih mentah yang siap diolah lebih lanjut. Selanjutnya, smelting berperan didalam memurnikan dan meningkatkan kandungan logam yang diperoleh hingga memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir yang nantinya akan dicetak menjadi bahan jadi siap pakai.
Untuk membangun suatu smelter - pada kasus ini adalah pengolahan Bauksit - para pengusaha industri harus menjalani panjangnya proses perizinan seperti ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Per-Industrian (Kemenperin) untuk izin industri, dan Kementerian ESDM untuk memperoleh pasokan bahan baku. Adapun pembangunan smelter diklasifikasikan didalam dua bagian, yaitu perusahaan baru yang ingin merintis sekaligus membangun smelter dan perusahaan tambang yang ingin membangun smelter untuk kepentingan proses produksi. Perusahaan baru yang ingin merintis sekaligus membangun smelter belum memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) sehingga sebelum melangkah lebih jauh, perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan khususnya pengolahan dan pemurnian mineral, harus terlebih dahulu memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus Pengolahan dan Pemurnian (IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian), yang mana didalam surat izin tersebut tercantum hal hal yang harus dipenuhi. Bagi perusahaan tambang yang ingin membangun smelter harusnya sudah memiliki IUP OP sehingga proses yang akan dijalankan berbeda dengan perusahaan baru yang dibahas sebelumnya. Perusahaan yang sudah memiliki IUP OP tidak perlu mendapatkan IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian terlebih dahulu dikarenakan pengolahan dan pemurnian adalah kegiatan yang sudah termasuk didalam cakupan IUP OP yang didasarkan pada pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Walaupun demikian, perusahaan tersebut harus mengurus Perizinan Industri/Perizinan berdirinya Pabrik – hal ini karena smelter juga dianggap sebagai pabrik - yang diatur oleh Kementerian Perindustrian dan juga Pemerintah Daerah setempat didaerah smelter yang direncanakan untuk dibangun. Tidak hanya proses perizinan yang cukup panjang, hal hal yang menjadi bahan pertimbangan sekaligus tantangan di dalam perencanaan pembangunan smelter tersebut secara garis besar ada dua yaitu infrastruktur dan sumber energi termasuk di dalamnya dana, pasokan listrik/power plant, ketersediaan bahan baku, ketersediaan wilayah, kondisi geografis area smelter, proses maintenance alat yang digunakan selama proses, durasi waktu pemakaian alat, pengolahan serta pengendalian limbah yang dihasilkan pabrik. Proyek pembangunan smelter ini membutuhkan biaya dan pasokan listrik yang sangat besar bahkan untuk dana mencapai angka 1 triliun rupiah termasuk didalamnya pembangunan power plant untuk sumber pemasok kebutuhan listrik smelter tersebut. Smelter bukan pabrik yang melakukan proses hulu tetapi melanjutkan dari suatu proses, oleh karena itu ketersediaan bahan baku komoditas yang akan diolah harus selalu tersedia. Suplai bahan baku yang terhenti akan memaksa pabrik smelter untuk memberhentikan prosesnya bahkan sampai menutup pabrik. Namun melihat cadangan bauksit Indonesia yang masih tersedia, smelter tetap dibutuhkan dan harus segera dibangun. Wilayah beserta keuntungan geografis area seperti mudahnya jalur transportasi dalam dan luar negeri yang tersedia di Indonesia juga mendukung pembangunan smelter. Jika melihat kondisi alat, akan berdampak pada dana yaitu karena untuk menyediakan alat yang bagus, tahan lama serta memiliki maintenance yang cukup baik diperlukan dana yang lebih besar. Beberapa teknologi pengolahan dan pengendalian limbah pabrik juga mendukung keberjalanan pabrik tersebut.
Walaupun pemenuhan terhadap UU Minerba sampai saat ini belum memenuhi target dikarenakan banyak hal yang masih perlu pematangan lebih lanjut. Tetapi segala tantangan dan pertimbangan yang ada tersebut pastinya dapat dijalankan dan dilewati karena melihat juga pada keadaan perguruan tinggi di Indonesia yang banyak menghasilkan lulusan yang dapat bekerja sama didalam pembangunan dan pengelolaan smelter tersebut seperti Teknik Metalurgi, Teknik Pertambangan, Teknik Kimia, Teknik Fisika, Teknik Tenaga Listrik, Teknik Elektro, Manajemen dan Bisnis, Teknik Industri, Teknik Lingkungan dan lain sebagainya. Kolaborasi dari berbagai latar belakang kejuruan dengan dukungan dari pemerintah yang disertai kasih serta pola pikir yang ber-keTuhanan akan membawa Indonesia menjadi lebih baik terkhusus di bidang pertambangan dan pengolahan mineral.
Beberapa referensi :
Industry Update – Office of Chief Economist - Bank Mandiri Volume 10, Juni 2013