Saat itu, dua jam menuju kick-off final Liga Champions 2020/21, saya tiba-tiba merasa bahwa yang akan juara bukan lagi Manchester City, melainkan Chelsea. Kenapa?
Masuk akal atau tidak, saya berpikir bahwa proses melajunya Chelsea ke partai puncak Liga Champions hampir mirip dengan proses melajunya The Blues ke final Liga Europa 2018/19. Proses itu menempatkan satu nama sebagai orang yang terlihat berperan vital dalam urusan mencetak gol.
Dia adalah Olivier Giroud.
Pemain asal Prancis yang memang cukup sering mendapatkan kritik. Saya pun pernah mengkritiknya, ketika baru awal membela Arsenal.
Bukan soal produktivitasnya, melainkan karena dia terlalu mudah terjatuh ketika mendapatkan adu badan oleh bek lawan saat dia menguasai bola. Apesnya, ketika dia terjatuh, Arsenal jarang mendapatkan tendangan bebas atau tendangan penalti.
Itu yang membuat saya kemudian membandingkannya dengan Robin van Persie, Theo Walcott, hingga ketika Danny Welbeck berlabuh ke Arsenal. Mereka adalah penyerang-penyerang yang tidak setinggi Giroud, tapi mampu mempertahankan bola dengan baik.
Bahkan, Welbeck yang terlihat kekar, tetap bisa berlari sangat kencang dibandingkan Giroud yang cepat ngos-ngosan. Tetapi, ada dua hal yang menjadi kelebihan Giroud.
Akurasi tendangan dan keunggulan duel bola atas.
Akurasi tendangan yang dia miliki karena kebiasaannya menempatkan bola pada sudut 60 derajat, bahkan hampir 90 derajat dari titik 0 di depan mata. Itu yang membuat tendangannya selalu keras dan menuju ke tiang jauh.
Kiper mana pun akan banyak yang kesulitan untuk menjangkaunya dan berharap tendangan Giroud melebar. Karena, memang itulah risiko dari gaya menendang Giroud yang mengandalkan kaki kiri.
Ini juga yang cukup spesial. Karena, banyak penyerang berpostur tinggi sepertinya dan menjadi target man klasik cenderung mengandalkan kaki kanan.