Awalnya, saya membuka sebuah media sosial untuk mencari kabar tentang sepak bola, namun mata saya menangkap adanya pesan sosial kepada sebuah negara. Cuitan itu berasal dari klub yang kebetulan saya follow.
Berhubung tidak ada tagar, saya masih belum mencoba mencari tahu tentang apa yang terjadi pada tempat tersebut. Baru ketika saya membuka bagian eksplor, di sana terpampang tagar yang berkaitan dengan apa yang dicuit oleh klub itu. Dan, tagarnya berada di urutan teratas, alias top trending topic.
Dari sana saya akhirnya menemukan konfirmasi, bahwa Lebanon mendapatkan musibah berupa ledakan besar. Ledakan itu ternyata menimpa kawasan sibuk di negara tersebut, yaitu Beirut.
Berbagai unggahan dari netizen membuat saya turut prihatin dengan kejadian yang menimpa Lebanon. Sebenarnya sulit untuk melihat situasi ini. Namun, saya juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sampai kemudian saya menemukan sebuah cuitan yang melekatkan video dari tokoh publik Lebanon, yaitu Marwan Abboud. Tokoh itu menjabat sebagai Gubernur Beirut. Dan, sebagai pejabat, sudah lazimnya dikunjungi reporter untuk dapat memberikan konfirmasi terkait kejadian mengejutkan tersebut.
Awalnya terlihat ada upaya untuk tetap tegar. Namun, akhirnya Marwan tak mampu menahan kesedihan yang ia rasakan terkait musibah tersebut.
Inilah yang membuat saya tergerak untuk membuat tulisan ini. Menurut saya, menjadi pihak yang harus berada di depan publik ketika ada kejadian yang senahas itu sangatlah sulit.
Di satu sisi, mereka harus profesional. Namun di sisi lain, mereka juga manusia. Mereka pasti memiliki perasaan, sama seperti masyarakat di balik pintu-pintu rumah.
Bedanya, masyarakat masih bisa menangis histeris, bahkan menyumpah-serapah. Sedangkan tokoh publik belum tentu bisa melakukannya, khususnya ketika mereka masih mampu bersikap tegar.
Hanya, ketika saya menonton video itu, rasa sedih saya nyaris tak terkontrol karena membayangkan bagaimana cara mereka untuk survive. Karena, ketika musibah ini terjadi pasti pihak seperti dialah yang akan memikirkan dan berupaya bergerak terlebih dahulu untuk membangun dan menata ulang kotanya yang hancur.
Ini juga membuat saya menaruh respek kepada mereka, ketika dewasa ini saya sering membaca banyak sekali komentar-komentar bernada menuntut (saja) yang terus membombardir laman media sosial. Di satu sisi saya memaklumi itu, tetapi di sisi lain saya juga merasa miris, karena seolah setiap komentar yang dibuat itu sudah tanpa melalui renungan bersama cermin.