Sebenarnya setiap hasil pasti perlu ada proses, termasuk dalam sepak bola. Setiap klub yang meraih hasil di akhir musim pasti perlu melalui banyak hal di sepanjang musimnya.
Ada yang tancap gas seperti Liverpool. Ada yang "selow" seperti Bayern Munchen. Ada pula yang berhasil memanfaatkan situasi seperti Real Madrid.
Liverpool adalah representasi tim juara yang langsung meyakinkan publik sejak awal musim bahwa mereka calon juara. Memang, seiring berjalannya waktu gas yang mereka tekan mulai terkikis.
Mereka mulai kedodoran, salah satu tandanya adalah ketika mereka dapat dikalahkan Watford. Begitu juga ketika mereka gagal menaruh fokus di Liga Champions, Piala Liga, dan Piala FA. Mereka memilih fokus dengan gelar yang mungkin sulit terulang, yaitu Piala Dunia Antarklub dan Premier League.
Khusus Premier League, mereka sebenarnya masih dijagokan untuk kembali bersaing di papan atas untuk beberapa musim ke depan. Tetapi, mereka ingin memastikan diri bahwa mereka memang tim juara.
Akhirnya target itu terealisasi. Musim ini, mereka adalah jawara liga meski kemudian tidak mengakhiri musim dengan banyak keistimewaan.
Salah satunya dengan bukti kegagalan mereka melampaui jumlah poin yang ditorehkan Manchester City ketika juara liga. Mereka gagal memecahkan rekor itu karena salah satu akibatnya adalah kekalahan yang mengejutkan dari Arsenal.
Kekalahan itu tak lepas dari menipisnya gas yang mereka miliki pasca resmi menjadi juara Premier League. Dan, bukan suatu hal aneh jika sebuah tim yang sudah juara memilih mengendurkan kekuatannya.
Namun, apa yang mereka tunjukkan tidak bisa dianggap sama dengan apa yang dilakukan jawara lainnya, Juventus. Klub asal Italia itu meski sukses meraih scudetto ke-9 secara beruntun justru terlihat beruntung. Mengapa?
Tidak konsisten
Secara statistik, mereka tidak lebih baik dibandingkan musim lalu. Padahal, ini adalah musim kedua mereka bersama salah satu pemain terbaik di dunia, Cristiano Ronaldo.