Lihat ke Halaman Asli

Deddy Husein Suryanto

TERVERIFIKASI

Content Writer

Perjalanan Mengenal Puisi dengan "Melipat Jarak"

Diperbarui: 22 Juli 2020   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampul bukunya membuat pembaca puisi yang awam menjadi sangat tertarik untuk membelinya. Gambar: Dokpri/DeddyHS/Gramedia

Sebenarnya terasa bohong jika saya mengatakan bahwa mengetahui puisi karena puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Tetapi secara jujur, saya memperoleh jembatan untuk mengenal puisi adalah dengan beberapa puisi beliau.

Diawali dengan saya membeli buku puisi "Melipat Jarak". Ini adalah buku kumpulan puisi pertama yang saya beli. Hanya, kalau mengingat buku kumpulan puisi pertama yang saya lihat, maka buku itu adalah "Selamat Menunaikan Ibadah Puisi", karya Joko Pinurbo.

Itu pun karena punya teman, dan saat itu dititipkan di rak buku milik sekretariat sebuah organisasi kampus saya. Saya pun saat itu belum tertarik untuk membuka dan membacanya. Maklum, saya jarang menyentuh barang orang lain, kecuali sangat tertarik dengan barang tersebut atau pun ingin dekat dan basa-basi dengan pemiliknya.

Ditambah jika itu adalah puisi. Maklum, saya saat itu masih berstereotip bahwa puisi cenderung melankolis dan kompleks.

Satu-satunya puisi yang familiar di telinga saya adalah puisi milik WS Rendra, dan itu juga karena momen peringatan HUT RI yang biasanya dihelat oleh Pemkab di kampung halaman saya.

Meski puisi-puisi yang dibacakan sangat patriotis, alias penuh semangat. Namun, saya berpikir bahwa puisi tersebut cenderung kompleks dan bergantung pada momen.

Nyaris seperti musik. Terikat oleh suasana dan kebutuhan tempat. Artinya, saya juga memikirkan bahwa puisi tidak begitu mudah untuk dinikmati. Seperti musik yang terkadang tidak semuanya easy listening--perlu suasana atau situasi yang sinkron dengan musik tersebut.

Namun, sejak saya membeli buku kumpulan puisi milik Sapardi, di sana ada upaya untuk mengenal, "bagaimana sih puisi itu?". Apakah puisi harus tentang cinta? Bagaimana jika ada perasaan-perasaan terkait sosial dan lingkungan, hingga ranah yang paling sakral, yaitu kemanusiaan?

Ternyata puisi bisa menjadi jembatan untuk merasakan itu semua, dan secara kebetulan dimulai dari saya membeli buku kumpulan puisi "Melipat Jarak". Di situ ada beberapa judul yang membuat saya akhirnya tertarik untuk mengenali puisi, hingga ingin berada di lingkungan berbau puisi.

Bahkan, saya juga mendemonstrasikan diri saya ke lingkup puisi bersama satu-dua judul puisi Sapardi. Meski saat itu saya belum terbiasa untuk merenungkan atau memaknai isi dari setiap puisi yang saya baca.

Terkadang saya masih membaca puisi dengan kepalanya pembaca cerpen atau novel. Mengikuti alur saja. Soal paham atau tidak, urusan belakang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline