Ide untuk menulis ini sebenarnya diperkuat oleh sebuah artikel dari Pak Zaldy yang secara garis besar membahas tentang anak yang meminta izin (ingin) dapat melakukan demonstrasi ketika sudah besar. Kurang lebih begitu yang saya tangkap ketika membaca ulasan tersebut.
Jika berbicara tentang demonstrasi saya membayangkan itu adalah aksi yang dekat dengan mahasiswa. Terlepas dari konotasi baik atau buruk, saya menempelkan kata demonstrasi dan mahasiswa dalam satu halaman yang sama. Bahkan, ibu saya pernah menanyakan tentang apakah saya akan turut berdemonstrasi atau tidak ketika sudah menjadi mahasiswa.
Sebenarnya saya juga pernah menulis tentang mahasiswa yang dilema antara ikut berdemonstrasi atau tidak. Tepatnya pada September 2019 saya menulisnya, karena berkaitan dengan apa yang terjadi saat itu.
Saya ingat momennya ketika itu ada beberapa teman saya yang menjadi mahasiswa ternyata ikut turun ke jalan. Namun, saya tetap bertahan di kost--rebahan.
Jujur saja, saya merasakan gejolak dilema, antara tidak setuju dengan aksi tersebut dan membiarkan aksi itu terjadi. Alasannya sudah saya paparkan di artikel tersebut.
Seiring berjalannya waktu, pemikiran saya tentang demonstrasi tetap di tengah, antara tidak setuju dan setuju. Walau sebagian besar presentasenya lebih ke tidak setuju. Mengapa?
Pertama, saya tidak setuju jika berdemonstrasi adalah langkah satu-satunya untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Menurut kacamata saya, dewasa ini aksi demonstrasi rata-rata dilakukan sebagai aksi prioritas bukan pamungkas.
Tentu pembaca memahami perbedaan antara prioritas dengan pamungkas. Jika segala sesuatu menjadi prioritas, maka pasti tidak ada hal-hal lain yang dapat menjadi alternatif. Inilah yang dapat menjadi kekacauan dalam mengimplementasikan demonstrasi dewasa ini.
Kedua, saya tidak setuju jika berdemonstrasi adalah dengan melakukan aksi pengrusakan fasilitas umum. Seperti pengrusakan gedung pemerintahan, pembakaran kendaraan kepolisian, dan yang serupa.
Pikiran saya ketika melihat hal itu terjadi sama seperti ketika saya membanting piring dan menghantam dinding. Ada kerugian dan kesakitan di sana.
Jika hal itu terjadi pada aset kenegaraan, maka yang menanggung kerugian pasti semua orang. Bukankah pembangunan fasilitas umum dan keberadaan hal lainnya juga untuk semua orang?