Lihat ke Halaman Asli

Deddy Husein Suryanto

TERVERIFIKASI

Content Writer

Mendem Kangen dengan Masjid di Tulungagung

Diperbarui: 30 April 2020   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid Agung Al Munawwar, Tulungagung, Jawa Timur. Letaknya berdekatan dengan Alun-Alun dan Pendopo. Gambar: Dokpri/DeddyHS

Memang, saya tidak dilahirkan di salah satu kabupaten yang berada di Jawa Timur, Tulungagung. Tetapi, saya masih merasa terikat dengan daerah penghasil marmer itu. Sudah genap dua dekade saya menjadi penduduknya, meski kini mulai jarang menetap di sana.

Kenangan yang terpatri sejak kecil, sejak awalnya belum bisa berbahasa Jawa, dan memanggil nenek dengan, "Heh!", di situlah saya mulai menyimpan apa saja yang sudah terjadi. Termasuk tempat yang paling lama saya lihat ketika itu.

Memiliki ingatan yang tidak terlalu baik terhadap lokasi memang membuat tempat-tempat lama lebih banyak mengisi ruang ingatan, dibandingkan tempat-tempat baru. Seperti tempat-tempat ibadah yang bernama masjid.

Sudah ada beberapa masjid yang disinggahi, baik di kampung asal, tempat tinggal saat ini, hingga di kota-kota yang pernah disinggahi. Namun, tetap saja, masjid-masjid di Tulungagung memiliki tempat tersendiri di ingatan.

Suasana pasca sholat Idul Fitri tahun lalu. Gambar: Dokpri/DeddyHS

Salah satu dan yang paling utama tentu adalah Masjid Agung Al-Munawwar. Bukan karena ini adalah masjid terbesar di Tulungagung, melainkan murni karena masjid yang pertama kali saya lihat di Tulungagung adalah Masjid Al-Munawwar.

Faktor tempat tinggal yang kala itu sangat dekat, hanya sekitar 150-an meter membuat masjid ini sudah seperti tempat lahir. Tetap diingat walau sudah semakin lama tak dikunjungi lagi.

Inilah yang membuat masjid ini tetap dikenang meski sudah pindah rumah, ditambah dengan kini jarang pulang kampung. Benar, saya hanya pulang kampung sebagian besar saat momen mudik.

Kecuali jika ada momen pilkada atau mengurus keperluan tertentu yang membuat saya harus pulang. Jika tidak ada hal semacam itu, maka tak perlu pulang.

Saat Ramadan pun yang paling diingat tentu adalah ketika dapat mengikuti buka bersama di masjid yang sangat luas itu. Hanya, terkadang saya juga pernah merasa terdiskriminasi karena dianggap masih kecil, belum tentu puasa.

Maka tak heran jika seusai Maghrib, pulang tak membawa apa-apa kecuali sebelumnya minum segelas susu dan dua-tiga butir kurma--jika dapat. Syukurlah....

Dari situ pula saya--saat itu--mengira bahwa, anak kecil sepertinya disangsikan untuk berpuasa. Anak kecil juga dianggap tak akan kuat berpuasa. Termasuk juga kepantasan dalam memperoleh makanan untuk berbuka. Ah, mungkin di rumah ibunya sudah masak kok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline