Tepat pada awal pekan ini (13/4), sebagian masyarakat Indonesia yang suka dengan sepak bola dikejutkan oleh keputusan mundurnya Ratu Tisha sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (Sekjen PSSI). Itu artinya, petualangan Ratu Tisha di PSSI sejak 2017 cepat berakhir, mengingat dirinya tidak mundur dengan melalui pergantian kepengurusan ataupun melalui Kongres Luar Biasa (KLB).
Tentu tidak akan ada asap jika tidak ada api. Begitu pula jika ada api, maka pasti ada pemantiknya. Keputusan mundurnya Ratu Tisha pasti ada penyebabnya. Namun, dari segala kabar yang beredar, hal ini tentu belum secara keseluruhan menjawab alasan di balik keputusan tersebut.
Bahkan, bisa saja keputusan itu bukanlah keputusan pribadinya. Namun, apapun itu kita tidak bisa memaksa lulusan Program Master FIFA itu untuk membuat klarifikasi. Biarkan beliau menjalani kehidupannya dengan segala keputusan yang memang harus diambil, entah baik atau tidak bagi orang lain.
Melalui kabar mengejutkan ini, masyarakat penikmat bola Indonesia kemudian diprediksi berada dalam dilema. Ada yang pro, ada yang kontra.
Bagi yang pro terhadap keputusan mundurnya Ratu Tisha dari Sekjen PSSI, terdapat dua alasan. Pertama, mundurnya Ratu Tisha karena untuk membuat masyarakat perlu mengetahui bagaimana kinerja PSSI jika tanpa sosok muda dan "berbeda" seperti Ratu Tisha.
Kedua, karena mundurnya Ratu Tisha akan membuat dirinya tak lagi terlihat sebagai pihak yang disalahkan, jika di dalam PSSI terdapat kebijakan-kebijakan yang sulit diterima pihak lain, khususnya oleh suporter.
Tentu, kita tidak bisa tutup mata terhadap cibiran kelompok suporter kepada Tisha ketika dirinya dianggap sebagai penyebab penyelenggaraan pertandingan sepak bola terlihat "abnormal".
Lalu, bagaimana dengan sisi kontra?
Bagi yang kontra terhadap keputusan mundurnya Ratu Tisha dari kepengurusan PSSI terdapat alasan yang melandasinya, dan sebenarnya terintegrasi pula dengan alasan dari sisi pro.
Pertama, ketika sosok seperti Ratu Tisha dengan segala latar belakangnya di sepak bola dan kemudian terlihat mampu menjalankan perannya sebagai pengurus PSSI, kita seperti melihat ada secercah harapan. Walau secara usia dirinya masih muda, nyatanya mampu menjalankan segala administrasi dan birokrasi yang ada di federasi dengan cukup baik.
Hal ini tentu membuat kita berpikir, bahwa seharusnya rentang karirnya akan panjang. Faktor usia juga mengharapkan dirinya dapat menjalankan visi-misi jangka panjang terhadap sepak bola Indonesia yang dewasa ini sulit untuk diajak bersabar.