Coronavirus disease 2019 (covid-19) rupanya masih betah merayap di bumi. Terbukti, belum ada tanda-tanda bahwa setiap negara mengalami penurunan statistik terhadap kasus yang ditemukan. China memang terlihat mulai stabil, begitu pula dengan Italia yang dikabarkan mulai tidak ada kenaikan kurva (Tirto.id) terhadap kasus corona yang membuat aktivitas sepak bola diprediksi akan mulai digelar kembali.
Namun, situasi ini tidak terjadi pada negara lain seperti Inggris dan Belgia. Bahkan, negara yang disebut terakhir itu telah menghentikan sepak bolanya dan "memberikan" gelar juara kepada Club Brugge (Bola.com). Lalu, bagaimana dengan Inggris?
Secara bertahap, kompetisi sepak bola di sana mulai menuju pada pemberhentian. Hal ini dilakukan dengan menghentikan kompetisi dari divisi di bawah Premier League dan Liga Wanitanya (Bola.net). Tersisa Premier League yang belum diputuskan apakah lanjut atau tidak.
Menurut informasi dari Viva.co.id, Liga Inggris sebenarnya masih berpeluang untuk dilanjutkan, meski sangat berisiko dan harus menunggu waktu yang tepat. Prioritasnya dalam pengambilan keputusan tersebut adalah mencari jalan tengah antara mengutamakan keselamatan dan menghindari kerugian.
Sejak berhentinya aktivitas sepak bola akibat meluasnya dampak corona, kerugian tak hanya menghantui federasi dan penyelenggara kompetisi, namun juga masyarakat pencinta sepak bolanya. Mereka mulai jenuh, karena tidak ada tontonan atau hiburan yang sebelumnya menjadi rutinitas setiap akhir pekan.
Tidak hanya itu, pengaruh dari berhentinya kompetisi baik secara jeda maupun berhenti total, telah membuat laman-laman media massa dan media sosial yang awalnya fokus membahas tentang sepak bola menjadi kelimpungan, karena apa yang akan dibahas? Memprediksi masa depan yang belum pasti akan dimulai kapan?
Problematika ini juga kemudian menyasar pada perihal yang paling penting dalam sendi kehidupan selain kesehatan, yaitu ekonomi. Masyarakat semakin terhimpit karena ekonomi seret, sedangkan kebutuhan sepertinya semakin melonjak.
Faktor intensitas di rumah membuat masyarakat semakin konsumtif, baik dari segi kebutuhan pokok dan non-pokok, seperti internet dan listrik. Selain itu, faktor stay at home juga membuat masyarakat butuh stok pangan yang melimpah di rumah, dan ini juga membuat kelangkaan serta terkurasnya kantong ekonomi rumah tangga.
Pendapatan sudah seret bahkan bisa saja tidak ada, malah pengeluarannya yang semakin membengkak. Lalu, bagaimana dengan mereka yang masih mendapatkan gaji dan setidaknya terlihat lebih mapan?
Pesepak bola adalah salah satu profesi yang memiliki standar ekonomi cukup tinggi, apalagi jika berbicara tentang Eropa dan khususnya liga-liga terkenal yang salah satunya tentu Premier League. Inilah yang membuat perbincangan tentang aksi solidaritas di dalam tubuh kompetisi tersebut menjadi menarik.
Bukan karena semua berlomba membuat aksi sosial masing-masing, melainkan mereka berada dalam dilematis antara potong gaji atau melakukan tindakan lain yang dianggap lebih efektif. Akhirnya, muncullah sebuah gerakan peduli sosial yang bernama "Players Together" (Bola.com).