Pagi tadi (7/4), ada kabar yang cukup membuat penulis geregetan sekaligus miris. Karena, saat social distancing digalakkan hingga menjadi physical distancing, namun masyarakat nyatanya masih abai dengan hal itu. Entah, karena lupa atau memang sengaja, tetapi aksi ini sangat tidak terpuji.
Fakta ini juga membuat penulis berpikir bahwa, angka korban Covid-19 di Indonesia yang disampaikan Achmad Yurianto setiap hari itu masih akan meningkat. Bukan karena virusnya yang mengganas, tetapi masyarakatnya yang masih lalai untuk menjaga diri sendiri.
Salah satu contohnya tentu dengan kabar dari NTB (6/4) yang mengisahkan kepulangan seorang kontestan LIDA 2020 ke kampung halamannya dan ternyata disambut oleh masyarakat setempat (Kompas.com).
Memang, sebenarnya hal ini dapat dimaklumi. Namun, bukankah kita sedang berada pada masa gawat darurat?
Inilah yang membuat kita tidak bisa memaklumi hal itu. Coba bayangkan, para penyanyi yang sudah teken kontrak untuk konser saja harus rela membatalkan agenda tersebut demi menyelamatkan kesehatan semua orang. Lha, masyarakat yang jadi penggemar justru abai terhadap konsekuensi tersebut.
Jika masyarakat sulit membayangkan derita para selebriti itu, maka bayangkan saja pekerjaan masing-masing yang awalnya terlihat normal namun sekarang 180 derajat berbeda. Apakah hal itu tidak disadari?
"Bagaimana kalau saya sehat? Apakah tetap tidak boleh keluar?"
Tentu banyak yang berpikir demikian, dan jawaban sebenarnya adalah boleh. Tetapi, janganlah berinteraksi secara intensif dengan orang lain.
Jikalau harus, pastikan jaraknya tak seperti biasanya. Bahkan, kalau perlu gunakan masker jika memang waspada terhadap percikan uap dari mulut masing-masing.
Tetapi, hal itu tidak cukup bukan? Kita masih harus berpikir tentang bagaimana dengan higienisitas dari pakaian kita. Belum lagi jika harus menggunakan anggota badan untuk bertukar sesuatu.
Maka, daripada kita terus bergulat dengan risiko-risiko itu, lebih baik meminimalisir dan meniadakan interaksi jika tidak sangat penting.