Lihat ke Halaman Asli

Deddy Husein Suryanto

TERVERIFIKASI

Content Writer

Kampanye "No Hijab Day", antara Simbol Kebebasan dan Kelemahan Perempuan?

Diperbarui: 2 Februari 2020   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi #NoHijabDay yang diperingati pada 1 Februari. Sumber gambar: Exmuslims.org

Meski bukan perempuan, kaum pria pun (seharusnya) sudah cukup tahu bahwa fenomena kaum perempuan muslim berhijab tidak hanya dikarenakan kepentingan agama, sosial, namun juga individual. Ketika individu meyakini ajaran agamanya perlu diwujudkan hingga disimbolkan, maka dia tidak perlu adanya paksaan dari lingkungan sosial untuk mewujudkannya.

Itulah yang kemudian membuat kita patut bertanya-tanya tentang keberadaan kampanye "No Hijab Day", buat apa? Apakah menggunakan hijab adalah tuntutan sosial? Apakah simbolisasi keagamaan adalah kekangan?

Seharusnya tidak. Hal ini bisa dinyatakan demikian jika keberadaan perempuan berhijab bukan menjadi parameter mutlak bagi kita untuk menilai bahwa perempuan tersebut telah pantas disebut muslimah yang solehah.

Penilaian kita seharusnya tidak sesederhana itu. Sama seperti ketika melihat lelaki muslim yang rajin mengenakan peci ataupun bersarung. Keyakinan terhadap agama tidak bisa sepenuhnya hanya ditunjukkan secara simbolis dengan pakaian saja.

Agama seperti gambaran besar antara budaya dan hukum. Artinya, dalam kehidupan kita, saat beraktivitas sehari-hari yang dibutuhkan adalah ingatan kita terhadap apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, serta apa yang dianjurkan. Itulah yang nantinya dapat menggambarkan bagaimana sikap kita saat terjun ke realitas sosial.

Perempuan yang berhijab melanggar aturan lalu-lintas pun tidak sedikit. Perempuan non berhijab yang gemar menolong kucing-kucing jalanan juga ada. Artinya, menjadi manusia yang baik tidak selesai hanya ditunjukkan dengan cara berpakaian. Karena itu adalah keputusan individu tersebut untuk memilih akan seperti apa berpakaiannya agar nyaman, bukan untuk terlihat baik.

Penggambaran ini bisa diarahkan ke selera berpakaian atau pola pikir tentang fashion. Terlihat remeh--jika dibandingkan dengan mindset agama, namun justru dengan persamaan pola pikir fashion tersebut yang dapat membuat kita berpikir bahwa berhijab bisa dipilih karena nyaman.

Ketika sudah nyaman, mengapa perlu ada #NoHijabDay? Bukankah itu artinya kaum perempuan selama ini merasa tidak nyaman, tidak bebas, dan terdoktrin oleh stereotip yang dibuat masyarakat sekitarnya tentang hijab?

Seharusnya kita tidak memerlukan kampanye itu. Karena dengan keputusan sendiri untuk berhijab, dengan kenyamanan yang sudah dirasakan, maka berhijab sudah bukan lagi kekangan dari agama ataupun tuntutan sosial.

Lalu, apakah kampanye ini mirip dengan "no bra day"?

Hari tanpa bra sedunia juga diperingati sebagai aksi peduli kanker payudara. Sumber gambar: Suara.com

Wajar, jika ada yang berpikir bahwa kampanye keduanya itu mirip. Namun, sebenarnya dua hal ini dapat digambarkan secara berbeda dengan kondisi sosial di Asia khususnya di Indonesia seperti yang kita ketahui.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline