Berita unik, namun sebenarnya ini bisa dimaklumi. Karena, memang dalam beberapa musim terakhir Napoli adalah pesaing terdekat Juventus, meski mereka urung untuk juara di Serie A. Sedangkan Juventus terus melenggang menaiki tahta scudetto -juara Serie A- 8 kali beruntun.
Pasca kepergian Sarri, Napoli tetap menjadi pesaing Juventus, apalagi ketika Napoli dibesut pelatih kaya pengalaman seperti Carlo Ancelotti. Dia salah satu pelatih hebat yang mengoleksi trofi Liga Champions, seperti Sir Alex Ferguson, Jose Mourinho, hingga pelatih-pelatih generasi di bawahnya seperti Pep Guardiola, Luis Enrique, Jurgen Klopp, dan Zinedine Zidane.
Bahkan seorang Arsene Wenger yang dijuluki The Professor, belum mampu merengkuh "si Kuping Besar". Jadi, sudah seharusnya Napoli senang ketika berhasil menempatkan Ancelotti di kursi kepelatihan. Dampaknya juga cukup bagus.
Namun, ada satu hal yang menjadi kekhawatiran ketika pelatih-pelatih kawakan seperti Ancelotti masih bekerja di tim yang bernafsu ingin juara. Yaitu, high pressure. Etos kerja, jelas Ancelotti memilikinya. Namun, bagaimana dengan gairah?
Ini yang mungkin dapat dijadikan salah satu faktor yang membuat Napoli kurang tajam di Serie A musim ini (2019/20). Namun, rentetan hasil minor itu bisa saja dikarenakan para pemain yang sudah tidak lagi bersemangat ataupun sedang kehilangan performa puncak.
Meski demikian, Napoli masih memiliki gairah di pentas Eropa, Liga Champions, dan itu dibuktikan dengan keberhasilan mereka lolos ke fase 16 besar. Bahkan juga mampu menutup laga terakhir di fase grup dengan kemenangan besar, 4-0.
Kemenangan ini ternyata tidak memberikan keyakinan bagi tim manajemen dan bos Napoli untuk mempertahankan Ancelotti. Mereka sepertinya ingin seimbang antara daya saing di liga domestik dengan di Eropa.
Situasi yang sepertinya sulit direalisasikan oleh Ancelotti yang sepertinya lebih ingin membawa Napoli tampil bagus di Liga Champions saja. Toh, jika Napoli juara, mereka pasti akan kembali ke Liga Champions musim depan tanpa harus berada di posisi 4 teratas Serie A, bukan?
Logika ini yang sepertinya ingin dilakukan Ancelotti, yang sayangnya tidak diterima oleh pihak manajemen. Mereka lebih menawarkan rasional yang hanya mereka pahami, bukan rasionalnya Ancelotti sebagai petarung yang sudah melintasi beberapa negara. Tentunya, dia paham dengan apa yang ingin dia lakukan.
Itulah yang membuat pemecatan ini menjadi dilematis yang cukup besar. Di satu sisi, faktor usia bisa membuat pelatih lebih irit dalam mengeluarkan gairahnya dan itu menjadi titik lemah jika harus bertarung di kompetisi panjang. Sedangkan di satu sisi lainnya, dia masih memiliki kualitas (pengalaman) dan ini yang seharusnya dapat dijaga oleh Napoli.
Bagaimana dengan Gennaro Gattuso?
Tanpa merendahkan eks pemain AC Milan tersebut, namun mantan pelatih AC Milan itu masih jauh dari kapasitas Ancelotti. Jika di AC Milan saja dia dipecat apalagi di Napoli, yang mana mereka dalam beberapa musim terakhir menjadi calon juara di liga. Inilah yang menjadi kerumitan dalam berpikir soal untung-rugi.
Memang, secara gairah dan karakter, Gattuso akan lebih bagus dari Ancelotti. Namun apakah dia mampu melanjutkan kiprah Napoli di Liga Champions?