Indonesia kembali menuai kekalahan dari Vietnam yang kali ini terjadi di final Sea Games 2019. Bertanding di Stadion Rizal Memorial, Manila, Filipina, skuad asuhan Indra Sjafri gagal mengulangi kesuksesan mereka juara di tempat yang sama pada 1991.
Satu faktor utama yang membuat timnas Indonesia gagal di partai yang dapat disebut sebagai rematch tersebut adalah Park Hang-seo. Pelatih asal Korea Selatan itu rupanya sudah menemukan formula yang lebih tepat untuk mengalahkan Andy Setyo dkk. Hal ini dapat dilihat dari kejeliannya dalam menerapkan taktik secara teknis dan non-teknis yang begitu lengkap.
Taktik dari teknis pertama adalah berwujud skema bermain lebih bertahan dengan zone marking. Hal ini membuat para pemain Indonesia gagal menembus pertahanan lawan, meski mereka dapat berinisiasi untuk lebih menguasai bola dan menyerang. Sedangkan timnas Vietnam lebih pragmatis dengan menunggu bola dapat diintersep dan melancarkan serangan balik.
Taktik dari teknis kedua adalah mengganti kiper yang lebih percaya diri untuk menghadapi Indonesia. Meski awalnya Park Hang-seo ragu di pos penjaga gawang, karena keduanya sama-sama pernah melakukan blunder. Namun, langkah mengganti kiper yang (mungkin) belum move on dari laga pertama bertemu Indonesia adalah suatu hal yang krusial dari taktik Park Hang-seo.
Taktik dari teknis ketiga adalah penerapan formasi yang berbeda. Jika di pertemuan fase grup, Park Hang-seo menggunakan formasi 4-3-3, maka di final ini dia memilih menggunakan formasi 3-5-2. Formasi ini sudah dicoba saat bertemu Kamboja di semi final dan terlihat manjur.
Formasi ini yang membuat permainan timnas Indonesia cukup kesulitan untuk bermain lebih percaya diri untuk menguasai bola. Karena, ketika bola mereka lepas, maka ada dua pemain di dekat pertahanan mereka yang siap untuk menjadi sasaran end passing dan langsung head-to-head dengan Andy Setyo dan Bagas Adi.
Hal ini membuat taktik Vietnam secara teknis sangat komplit. Mereka bertahan kompak dan mampu memperagakan serangan balik dengan dua penyerang selalu siap berduel dengan dua bek tengah Indonesia. Apalagi jika dua full back Indonesia overlap, maka lini pertahanan Indonesia hanya menyisakan duet bek tengah.
Di mana Zulfiandi?
Sebenarnya perannya kali ini sangat vital. Apalagi ketika Evan Dimas cedera dan ditarik keluar, maka peran Zulfiandi tak lagi hanya fokus membantu pertahanan, namun juga menjadi pembangun serangan bersama Syahrian Abimanyu dan Sani Rizki. Uniknya, ketika timnas Indonesia gagal membangun serangan, mereka tidak diserang dari tengah melainkan dari sisi flank, sehingga peran Zulfiandi sebagai jangkar yang menyaring bola dari lawan kurang terlihat.
Hal ini sepertinya sudah dijadikan patokan bagi Vietnam secara teknis yang dimasukkan ke skema counter attack dengan formasi 3-5-2. Artinya, mereka menerobos lewat flank untuk membuat lini tengah Indonesia terbuka dan membuat Zulfiandi meninggalkan area tengahnya. Ketika hal itu terjadi, maka pemain depan Vietnam akan tinggal berhadapan dengan satu/dua bek yang tersisa.
Inilah yang membuat jarang ada duel antara Zulfiandi dengan pemain Vietnam, kecuali di awal-awal babak pertama ketika Vietnam masih belum sepenuhnya memperagakan taktiknya. Melihat performa yang sedemikian rupa, maka secara teknis Vietnam layak menang.