Dalam beberapa waktu ini, masyarakat Malang dan sekitarnya berhasil menyaksikan kembali pertunjukan menarik di Gedung Kesenian Gajayana (GKG). Gedung yang terletak tak jauh dari Pasar Besar (Pabes) Malang tersebut mulai digunakan kembali sebagai wadah pentas bagi komunitas maupun penggiat seni pertunjukan.
Dari instansi kampus hingga independen, mereka dapat menyuguhkan pertunjukan yang dapat menarik perhatian bagi penikmat seni di Malang. Jika biasanya masyarakat Malang yang mengenal teater akan lebih banyak mencari pementasan dari kampus ke kampus. Kini, mereka dapat menantikan kabar bahagia tersebut dari keberhasilan para penggiat seni itu mengadakan pertunjukan di Gajayana.
Memang, gedung ini adalah gedung lama dan juga sebenarnya sudah cukup sering digelar acara yang berkaitan dengan kesenian di masa lalu. Namun, ada kabar tak bagus tentang gedung tersebut. Karena, menurunnya intensitas penggunaan Gajayana membuat masyarakat mulai tak mengenali Gajayana kecuali mereka yang ada di sekitar gedung tersebut.
Bukan hanya itu, kendala lokasi gedung tersebut juga menjadi faktor lain yang dapat membuat masyarakat penonton seni pertunjukan tak begitu antusias. Apalagi jika masyarakat penontonnya adalah mahasiswa. Maka, bukan salah mereka jika mereka hanya dapat menjangkau tempat-tempat terdekat -dari kampusnya masing-masing.
Namun, sejak pertunjukan teater seperti yang dilakukan oleh CAKTEMA (Perayaan Hari Teater se-Dunia) di Gajayana beberapa waktu lalu (Maret 2019). Kemudian disusul dengan pertunjukan lainnya, seperti "Drama Musikal Werewolf" (2019) yang diadakan oleh Malang Drama Musikal (MDM) dan "Tiga Kali Duabelas Guritan" dari Gendhis FISIP Universitas Brawijaya (UB), nama Gajayana semakin menggaung lagi.
Seolah menegaskan bahwa Gajayana telah "bangkit dari kubur", ketika gedung yang sudah berusia tua itu juga pada akhirnya menerima pagelaran teater lagi menjelang tahun 2019 berakhir. Yaitu, "Babat Tanah Jawa" dari Malang Study-Club for Theatre (MASTER). Digelar selama dua hari (23-24 November 2019), MASTER semakin melekatkan masyarakat penonton teater pada kursi merah GKG.
Menariknya, MASTER menggelar pertunjukan teater kolosal yang mengusung konsep teater tradisi. Kisah dari pertunjukan itu sendiri secara tersirat juga dapat dikaitkan dengan Gajayana yang nasibnya diharapkan dapat kembali menyajikan karya-karya hebat dari penggiat seni di Malang. Artinya, Gajayana harus mampu "membabat" diri a.k.a melakukan perbaikan.
Sudah cukup lama, para penggiat seni di Malang menginginkan Gajayana dapat direnovasi selayaknya gedung pertunjukan seperti Gedung Kebudayaan Cak Durasim di Surabaya. Karena dengan kelayakan infrastruktur tersebut, diharapkan para penggiat seni khususnya bidang tari maupun teater di Malang dapat menemukan wadah yang tepat untuk berkarya.
Seolah gayung bersambut, terdengar selentingan kabar bahwa Gajayana akan mengalami renovasi dalam waktu dekat. Ini tentu akan menjadi kabar sangat baik bagi penggiat seni di Malang untuk berekspresi lagi di panggung Gajayana dan membuat masyarakat penonton kembali "dekat".
Kedekatan ini lebih pada seringnya penonton menjangkau Gajayana ketika terdapat pertunjukan -terlepas dari jaraknya. Sehingga, apabila gedung ini mengalami perbaikan dan intensitas pertunjukan seni meningkat, maka masyarakat akan semakin sering menyambangi lokasi tersebut dan merasa dekat.
Begitu pula pada penyematan Malang sebagai salah satu daerah penghasil karya seni, maka akan semakin terbuktikan dengan keberadaan infrastruktur yang memadai dan berkualitas. Jika kualitas Gajayana meningkat, maka tidak akan sulit bagi penggiat seni untuk memanfaatkannya dengan baik.