Jika di kandang sendiri kalah dan masih ada pelatih, maka di kandang lawan kemungkinan untuk tampil lebih baik akan lebih sulit. Selain karena tidak ada pelatih, optimisme yang dibangun oleh tim kepelatihan baru (caretaker) juga akan berbeda. Hal ini terjadi pada timnas Indonesia dan membuat mereka masih kesulitan untuk mencari poin di kualifikasi Piala Dunia 2022.
Pada laga kedua melawan Malaysia di Stadion Bukit Jalil, Indonesia harus menyerah dengan skor 2-0. Tidak mampu mencetak gol menjadi indikasi bahwa permainan Indonesia dalam menyerang juga masih kesulitan meski mereka sudah memanggil pemain di sektor depan atau berkarakter menyerang lebih banyak dibandingkan laga-laga sebelumnya.
Namun, hal itu masih belum mampu memberikan jalan keluar bagi timnas untuk tampil bagus dan memberikan perlawanan yang impresif -meski harus kalah. Soal gengsi antara Indonesia dengan Malaysia, sebenarnya itu kisah klasik. Karena, yang terpenting saat ini adalah pembuktian di lapangan, alias permainan taktik dan implementasi konkrit.
Di sini, timnas Malaysia mampu tampil lebih baik selayaknya tuan rumah yang harus mampu menggaransi poin di kandang. Karena di turnamen yang sesulit kualifikasi Piala Dunia ini, target paling realistis memang hanya meraih poin sebanyak mungkin di kandang. Sedangkan di laga tandang mereka hanya berupaya tampil maksimal meski hasil akhir tidak dipatok setinggi di kandang sendiri.
Pola inilah yang terlihat di timnas Malaysia. Mereka sangat menyadari itu. Apalagi ketika mereka cukup mampu mempersulit tim-tim lain ketika di kandang, maka ketika menghadapi timnas Indonesia yang sedang rapuh dan minim kepercayaan diri, Safawi dkk secara mentalitas jelas di atas Indonesia.
Hal ini juga didukung oleh keberhasilan Tim Harimau Malaya merengkuh kemenangan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) saat pertemuan pertama. Maka, mereka sudah memiliki tabungan resep untuk mengalahkan timnas Indonesia di pertemuan kedua. Ditambah dengan faktor dukungan suporter tuan rumah yang tinggi membuat target kemenangan adalah satu-satunya hasil mutlak bagi Malaysia saat menjamu Indonesia.
Di laga ini, keajaiban dari permainan sepakbola seperti tidak berlaku. Karena, permainan keduanya seperti tidak terlalu berbeda dengan apa yang terjadi di SUGBK. Artinya, Malaysia sudah semakin tahu formula tepat untuk mengalahkan Indonesia dan Indonesia masih kesulitan mencari cara untuk memutarbalikkan keadaan -ketika harus menjadi underdog.
Pada pertemuan ini, timnas Indonesia harus mengakui dirinya sebagai underdog. Karena, tim ini berangkat tanpa mengantongi poin -dalam 5 laga- yang di sepakbola poin adalah asa. Ketika kita bermain dengan modal konkrit berupa poin, setidaknya kita bisa berpikir bahwa ada kemungkinan (harapan) kita tidak finish sebagai juru kunci. Meski, harus sambil berharap Malaysia ataupun kontestan lain kalah di seluruh sisa pertandingan dan kita minimal menang di laga ini (19/11).
Namun, ketika kita tidak memiliki simpanan poin. Asa itu semakin berat. Lalu, apa yang dicari di laga tersebut? Hanya gengsi? Tentu saja tidak bisa. Karena, sepakbola di zaman ini semakin kompleks dan tidak bisa lagi hanya berpatok pada "zamanku", "zamanmu", dan "zaman dia".
Sepakbola pada masa kini adalah sepakbola yang harus benar-benar dipikirkan saat ini juga dan harus ada wujud nyatanya. Entah gol, entah poin, itulah yang paling mudah untuk dilihat. Begitu pula dengan statistik lainnya, attempts, pass accuracy, ball possession, dan lain-lain.
Hal ini penting, karena data-data ini dapat dipelajari dan melahirkan evaluasi. Termasuk ketika ketiadaan pelatih utama juga mempengaruhi sirkulasi taktik ke lapangan. Karena, ketika ada pelatih saja, indikasi permainan sakarepe dewe dari para pemain bisa saja terjadi, apalagi dengan tidak adanya pelatih. Maka, peluang untuk bermain lepas selepas-lepasnya -tanpa kontrol dan tujuan- juga dapat terjadi.