Sudah bukan suatu kabar langka jika kita mendengar suporter bola di Indonesia melakukan kerusuhan. Bahkan tidak hanya di level antar kampung saja, kerusuhan suporter juga dapat terjadi hingga level internasional.
Di level nasional, kerusuhan suporter bahkan sudah menjadi rutinitas. Seolah tanpa kerusuhan, sepakbola Indonesia seperti kuah sayur tanpa micin.
Terbaru, kita mendengar kabar bahwa kerusuhan suporter terjadi lagi di kompetisi sepakbola tertinggi di Indonesia, Liga 1. Kelompok suporter tuan rumah yang kemudian disebut oknum suporter itu melakukan kerusuhan pasca pertandingan berakhir.
Memang, kerusuhan itu sepertinya tidak menyasar pada tim tamu, melainkan seperti ingin protes ke klub dukungannya.
Namun, apakah tindakan itu sudah efektif dalam menyuarakan perasaan tidak puas terhadap kinerja tim jagoannya?
Guna menjawab pertanyaan itu, kerusuhan suporter ini perlu dibedah secara cukup detil. Yaitu melalui hukum sebab-akibat. Penyebab kerusuhan suporter di Stadion Gelora Bung Tomo tersebut disinyalir berdasarkan kekalahan Persebaya di kandang sendiri.
Begitu pula dengan raihan hasil laga di beberapa laga terakhir yang tak kunjung menuai hasil maksimal (kemenangan).
Faktor kekalahan itu kemudian mengarah pada perihal yang sangat ingin dihindari, yaitu kerugian. Kerugian ini bisa dialami oleh dua belah pihak. Klub dan suporter. Bagi klub, kerugian atas kekalahan ini bisa mencakup perihal internal dan eksternal.
Internal bisa berupa faktor kepercayaan manajemen dengan pelatih, manajemen dengan pemain, dan lainnya. Di bagian eksternal, kepercayaan ini bisa mencakup perihal finansial dari sponsor dan suporter (ticketing).
Jika tim sudah tidak bisa menjamin kemenangan di kandang, maka tidak menutup kemungkinan bahwa tribun di stadion saat laga home menjadi kurang penuh.
Itu artinya, pihak klub juga merasakan dampak kekalahan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah tidak ada satupun klub di dunia ini mampu menjamin kemenangan seratus persen di kandang, termasuk klub-klub di Liga 1.