Apa yang terjadi di timnas U-23 Indonesia saat ini sudah menggambarkan bagaimana hasil dari persiapan yang belum maksimal dan bagaimana 'kecukupan' target publik terhadap timnas. Selain itu, faktor antisipasi dan evaluasi sepertinya hanya fokus pada perbaikan tim---itupun belum maksimal, bukan pada bagaimana peta kekuatan lawan. Faktor juara AFF U-22 beberapa waktu lalu, juga kemudian menggiring publik Indonesia mengingatkan kejadian serupa saat Indonesia merasakan juara di level U-19 pada 2013---yang kemudian keok di turnamen AFC Cup. Namun, saat itu terlihat lebih baik (mungkin faktor menjadi tuan rumah saat itu).
Sehingga, ini memperlihatkan jika Indonesia memang masih berada di garis tengah. Masih di antara bagus dan tidak bagus alias biasa saja. Bukan meremehkan timnasnya, melainkan menyayangkan pada atmosfernya---yang menjadi salah satu elemen penting di persepakbolaan.
Dewasa ini, atmosfer sepakbola tidak hanya berada di tribun atau di dalam stadion itu per pertandingannya. Melainkan juga di media sosial---sebelum dan sesudah pertandingan berlangsung. Dukungan saat ini memang senantiasa mengalir. Namun, seringkali disisipi dengan arogansi dan optimistis yang kurang realistis. Masyarakat-net Indonesia terlalu terbawa situasi politik nasional dan gesekan dengan si negara tetangga, membuat mereka melupakan upaya mendukung timnas dengan cara yang positif dan wajar---terkena virus gaya bermedsos ala 'black campaign'.
Acapkali dukungan yang mengalir di media sosial hanya pada sekadar ikutan trending topic, agar akunnya juga terkena dampaknya (penambahan jumlah followers/adders). Selain itu cyber fight dan cyber bullying juga digunakan untuk menebar psywar antar kubu pendukung. Hanya dengan bermodalkan juara di ajang pemanasan (AFF Cup U-22), namun itu sudah menjadi modal besar nan membanggakan bagi publik Indonesia.
Padahal, jika berani menengok realita dari turnamen tersebut, kita seharusnya tidak terlalu jumawa. Karena, level yang diturunkan di ajang tersebut belumlah maksimal. Baik itu di kubu timnas Indonesia maupun di timnas lainnya. Artinya, timnas Indonesia masih belum bisa dielu-elukan secara berlebihan. Cukup didukung dan didoakan saja. Kalau menang disyukuri, kalau kalah diberikan solusi secukupnya sesuai dengan kemampuan masing-masing---jika memang bukan ahli di bidang sepakbola.
Sumbangsih ini yang sebenarnya diperlukan bagi timnas dalam upaya perbaikan level permainannya. Karena orang-orang di dalam timnas pastinya akan lebih condong fokus pada tim sendiri---yang pastinya masih punya PR besar. Belum lagi dengan PSSI-nya yang masih belum 'direnovasi'. Artinya, sepakbola Indonesia masih di dalam goa. Ibaratnya seperti kondisi suporter sepakbola masa kini yang terkena dampak 'masuk goa' jika tim jagoannya kalah.
Begitu pula dengan timnas Indonesia, khususnya di U-23. Mereka memang sudah bermain lebih baik dibandingkan di turnamen sebelumnya, namun, tim lawan juga melakukan hal serupa, dan mereka berada di tahap yang sedikit lebih di depan dibandingkan timnas Indonesia.
Mereka (tim lawan) bahkan sudah berani menyiapkan banyak opsi yang artinya juga bersiap untuk menghadapi resikonya ketika harus mengambil opsi yang memiliki resiko tinggi. Salah satunya adalah dengan memainkan tim B ataupun tim C di turnamen pemanasan. Walau resikonya juga akan tidak maksimal di dalam pertandingan tersebut. Namun, di waktu yang sama, mereka sudah menyiapkan tim A-nya untuk berlaga di turnamen yang sebenarnya nanti. Sehingga, ketika ada yang tidak beres di turnamen pemanasan, di tim A ini akan ada solusinya. Walau, ada konsekuensi lainnya. Yaitu, kurang pemanasan. Khususnya pemanasan dalam bersaing merebut titel.
Meskipun turnamen AFF Cup U-22 kemarin adalah ajang pemanasan. Namun, turnamen tersebut tetaplah menghadirkan titel, yang artinya patut diperebutkan. Sehingga, setiap tim yang berpartisipasi harus tetap ada upaya untuk menggapai itu. Namun, jika sebuah tim memiliki banyak opsi, maka, mereka adalah tim yang sudah memprediksi apa yang akan terjadi dan yang dibutuhkan di kala upaya mereka tidak menghasilkan sesuatu yang ideal. Artinya, mereka sudah satu strip berada di depan. Perkara apakah mereka berhasil atau tidak, itu hanya bagian dari konsekuensi dan suatu kewajaran. Karena, manusia memang tidak terlalu pandai memprediksi---bahkan seorang dukun sekalipun.
Kita ambil contoh tim yang seperti itu adalah Thailand dan Vietnam. Secara kaca mata awam saja (ada artikel sebelumnya yang membahas tentang faktor-faktor timnas Indonesia U-22 juara---silakan klik di sini), kita sebenarnya bisa melihat dan menilai bahwa mereka tidak 100% bermain dengan kekuatan aslinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan susunan skuad dan profil para pemainnya yang mayoritas masih belasan. Sedangkan turnamennya berlabel U-22.
Sedangkan, timnas Indonesia sudah didominasi dengan pemain-pemain berusia 19 tahun ke atas. Artinya, pemain timnas Indonesia tidak hanya memiliki skill, namun sudah memiliki pengalaman juga. Apalagi yang sudah berusia 20-an tahun, maka, si pemain pastinya sudah merasakan atmosfer bermain bersama pemain-pemain senior di level klub. Sehingga, hal ini menjadi pembeda bagi tim lawan ketika menghadapi timnas Indonesia.
Namun, Vietnam dan Thailand dengan skuad yang lebih muda itu sudah cukup mampu untuk mencapai target berada di empat besar. Artinya, tidak ada perbedaan yang mencolok antara skuad A dengan skuad 'cadangan' (entah B, C, ataupun D). Mereka sudah memiliki keberanian untuk mengukur kemampuan mereka dengan 'senjata' yang belum maksimal. Begitu pula dalam mengukur kemampuan tim lawan. Mereka berani beresiko untuk kemungkinan kalah dengan tim yang sudah berisi 70-80% tim yang sebenarnya. Asalkan ada target lain yang dapat dicapai. Yaitu, memiliki data statistik permainan lawan ketika lawan sudah mengerahkan 70-80% kemampuannya---atau lebih besar lagi. Artinya, mereka sudah dapat menangkap ikan gurame, hanya dengan umpan cacing, bukan kroto---yang harus tahan diserang semut rangrang yang gigitannya sangat mengganggu kulit kita.