"Usaha keras dari berbagai cara, mungkin akan menghasilkan sesuatu di suatu saat nanti."
Rentetan kemenangan dan pertahanan bagus sejak babak penyisihan di grup. Rupanya telah menjadi modal penting dan kuat bagi Qatar untuk dapat tampil bagus di partai puncak.
Lawan yang dihadapi di final pun bukan timnas sembarangan, melainkan Jepang. Jepang adalah kolektor gelar juara Piala Asia 4 kali, sedangkan Qatar baru pertama kali menginjakkan kakinya di final Piala Asia.
Selayaknya seperti kisah Leicester City yang juara di Liga Inggris beberapa waktu lalu. Kini, kita dapat melihat jawara baru sebuah kompetisi terelit di Asia, ada di Qatar.
Benar, Qatar berhasil menjadi juara Piala Asia 2019 di Uni Emirat Arab dengan skor meyakinkan; 1-3 (Takumi Minamino -- Almoez Ali, Abdulaziz Hatem, Akram Afif).
Di laga puncak ini, keberhasilan Qatar ditentukan oleh tiga faktor.
Pertama, strategi menyerang dan mencari gol cepat dilakukan dengan baik dan berhasil di babak pertama. Terbukti, mereka unggul sejak menit ke-12, melalui Almoez Ali.
Berselang 15 menit kemudian, mereka berhasil menggandakan keunggulan dengan gol yang dilesakkan oleh Abdulaziz Hatem. Unggul 2-0 di babak pertama inilah yang menjadi kunci keberhasilan dari strategi Qatar yang turun dengan formasi yang sebenarnya cenderung defensif---dengan formasi 5-3-2.
Faktor kedua, Qatar sangat siap dengan formasi dan strategi yang yang harus dapat bertahan dengan sangat baik. Karena, lawannya adalah Jepang. Tim di turnamen ini yang memiliki rasio mencetak yang tinggi.
Mereka sangat faham betul jika Jepang memiliki kualitas di segala lini. Termasuk dalam menyusun serangan. Inilah yang kemudian membuat Felix Sanchez---pelatih Qatar---menurukan lima bek untuk dapat memperkuat pertahanan.
Formasi 5-3-2 ini tidak bisa dianggap sebagai bentuk dasar permainan yang total bertahan. Melainkan, mengupayakan keseimbangan dalam menghadapi tim sebesar Jepang.