"Apa bedanya Komunisme dengan Liberalisme, Kapitalisme, dan Pancasilaisme?"
---
Masyarakat Indonesia kembali mendengar kabar hangat nan unik tentang penyitaan buku yang menonjolkan sosok-sosok penggerak paham komunis seperti Muso, Aidit, Tan Malaka, sampai sang sesepuh Lenin. Kabar ini juga sangat viral di kalangan masyarakat Jawa Timur. Karena, secara kebetulan, kabar penyitaan tersebut memang berasal dari Pare, Kediri. Penyitaan ini kabarnya dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Luar biasa.
Kabar yang sangat menarik dan membuat orang yang sangat faham betul tentang seluk-beluk 'isme-isme' yang berada di penjuru dunia ini akan merasa mahfum dan geli.
Mengapa?
Karena, ini terjadi di tahun 2018---menjelang 2019---namun, masih terlihat adanya ketakutan-ketakutan terhadap sebuah ideologi.
Di sini, kita akan membahas fenomena ini dengan sudut pandang pembelajar dari salah satu ilmu sosial, yaitu SOSIOLOGI.
Mungkin sudah banyak orang tak lagi asing dengan nama ilmu pengetahuan ini. Karena, ilmu pengetahuan ini juga sudah dijadikan sebuah jurusan di jenjang pendidikan tinggi, maka, nama Sosiologi seharusnya sudah tidak terlalu 'aneh' di Indonesia.
Walau, jika dibandingkan ilmu yang lain, bahkan ilmu yang sebenarnya merupakan ilmu terapan, seperti Ilmu Komunikasi, Sosiologi rupanya masih lumayan keteteran untuk mengejar popularitasnya---khususnya di Indonesia. Namun, Sosiologi tidak akan kehilangan minat. Ilmu ini sebenarnya sangat penting bagi masyarakat Indonesia---agar dewasa ini tak mudah untuk diprovokasi.
Mengapa?
Agar pemikiran kita tak lagi hanya sekedar melakukan apa yang sudah ada. Namun, juga berani 'menggebrak dunia' dengan pemikiran yang inovatif dan terbuka.
Hal inilah yang sulit dilakukan dewasa ini bagi masyarakat Indonesia---baik elit dan non elit.
Kita sangat perlu berpikir luas, dan membuka kemungkinan-kemungkinan jika hal ini atau itu dapat dijadikan sebagai bagian dari landasan berpikir. Di situlah letak peran Sosiologi.