Lihat ke Halaman Asli

Deddy Husein Suryanto

TERVERIFIKASI

Content Writer

Keyakinan yang Tidak Akan Luntur Melalui Ucapan

Diperbarui: 25 Desember 2018   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: gallery.wacom.com/gallery

"Toleransi bukan hanya ucapan, melainkan tindakan"

Tak banyak dan tak sedikit, penduduk atau masyarakat Indonesia ini dilahirkan dengan latar belakang percampuran antar ras, suku, dan agama. Ketiganya ini merupakan elemen bangsa yang rupanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Contohnya, suku Jawa, Madura dan Sunda dikenal sebagai suku-suku di Pulau Jawa yang dominan beragama Islam.

Begitu pula dengan ras. Ras Melayu (Melayu Tua dan Melayu Muda) yang cukup dominan di Indonesia juga dikaitkan dengan agama Islam. Lalu, ada ras Mongol seringkali masih terlihat acak antara agama Hindu, Buddha, Konghuchu, dan agama lainnya. Begitu pula dengan ras Melanesia dan Veddoid yang terlihat lebih dominan Katholik dan Kristen.

Namun, seiring waktu dari perkembangan peradaban, ras yang kemudian menjadi suku-suku bangsa di Indonesia ini terlihat semakin melebur dalam hal agama. Dari Sabang sampai Merauke, keberagaman agama semakin terlihat jelas dan sulit untuk mengikatkan agama dengan ras dan suku. Suku Jawa juga memiliki agama Katholik dan Kristen, begitu pula suku-suku di Papua, Maluku, Sulawesi, dan sekitarnya; juga terdapat masyarakat yang beragama Islam. Artinya, agama bukan lagi terkotak-kotakkan berdasarkan ras dan suku, melainkan merasuk ke dalam pilihan individu maupun antar keluarga.

Agama menjadi tidak terlihat terintervensi oleh pemahaman atas kesukuan dan ras, melainkan keyakinan yang didasari pada pemikiran yang didapatkan oleh masing-masing. Di sinilah letak awal, bagaimana Indonesia semakin beragam---walau di sisi lain semakin terlihat adanya mayoritas dan minoritas.

Jika berbicara soal agama, memang terlihat bahwa mayoritas agama Islam telah tersebar di segala penjuru Indonesia. Namun, di sisi lain, secara ras dan suku, Indonesia sangat berimbang. Bahkan, dewasa ini, kesuksesan pembangunan daerah tidak lagi hanya terpatok pada daerah yang sudah terakses dengan mudah dari pusat seperti Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun, sudah mampu menjamah paling pelosok di Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah-daerah yang lebih identik dengan ras Melanesia dan suku non Jawa. Menariknya, hal ini juga berlaku di kehidupan rimba yang tak tercampuri oleh pemerintah atau pihak-pihak lain. Yaitu, soal cinta dan pernikahan.

Tidak lagi sedikit, kita dapat menemukan orang-orang di sekitar kita berlatar belakang ras dan suku yang terbaurkan akibat pernikahan beda ras dan suku, termasuk agama. Di sinilah, suatu keindahan kembali muncul dan semakin menarik untuk diperhatikan. Bahwa Indonesia adalah surganya perbedaan yang kemudian dapat menyatu sebagai keselerasan yang alami.

Cinta dan pernikahan adalah suatu hal yang masih dapat dinilai alami---walau ada cinta dan pernikahan yang atas dasar keterpaksaan atau ada tujuan tertentu. Bersama dua hal inilah, kemudian, kita dapat menemukan pula sebuah hasil yang menarik lainnya, yaitu pembauran agama yang diyakini oleh orang-orang yang awalnya terlihat 'seharusnya' beragama A, namun ternyata beragama 'B'.

Hal ini awalnya terlihat dapat menjadi suatu perdebatan. Namun, lambat laun, hal ini menjadi suatu kewajaran. Karena, Indonesia memang menyediakan hal tersebut; keberagaman. Proses dari cinta dan pernikahan inilah yang kemudian dapat menjadi salah satu faktor mengapa kita dapat hidup dengan perbedaan. Termasuk perbedaan agama.

Seharusnya, tidak lagi mengherankan jika kita berjumpa dengan teman kita yang berwajah Tionghoa namun beragama Islam, bukan?

Begitupula ketika menjumpai orang bersuku Jawa, namun beragama Buddha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline