Hari ini , Jumat tanggal 26 Januari 2018, 9 Rato (Kepala Suku) di Doka Kaka , yakni Rato Rumat dari kampung Ina Ama, Rato Bew Dangu Wole suku Taida Logoko, Rato Saingo Buni suku Tangu Toto, Rato Lango Ubu Rei suku Sugu Bedu, Rato Balu Dangu Kula dari suku Wetalo, Rato Dongu Wole suku Toto Gaura, Rato Nono Buni Kose Suku Welowo, Rato, Rato Kuri Dena suku Ledo Maba, duduk bersama bermusyawarah dalam rangkaian kegiatan Awal Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat. Kegiatan yang difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sumba bekerjasama dengan pemerintah Desa Doka Kaka berlangsung di Tabera,Sumba Barat,NTT.
Musyawarah Sembilan Rato (kepala Suku) ini merupakan respon dalam perjuangan RUU Pengakuan Masyarakat Adat, yang merupakan harapan besar dalam sebuah kebersamaan untuk melindungi masyarakat adat dari berbagai kebijakan yang selama ini masih menjadi pekerjaan besar pemerintahan Jokowi-JK dalam konsep Nawacita.
Dalam menjawab Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PPU-X/2012. Putusan MK 35 Tahun 2012 menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, menegaskan kembali keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, termasuk hak atas hutan adat yang ada wilayah adatnya, yang diperkuat dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dimana dalam pasal 6 menyatakan perlindungan atas identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat selaras dengan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, untuk menjawab keputusan MKini, maka masyarakat adat Sumba saat ini merespon dengan baik apa yang menjadi amanah konstitusi tentu dengan mekanisme dan prosedur yang ada terkait dengan lembaga masyarakat adat,salah satunya melalui pemetaan partisipatif wilayah adat.
Terkait dengan pentingnya musyawarah para rato ini, dijelaskan oleh Arfian Deta, Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif AMAN wilayah Sumba, bahwa proses ini harus benar-benar melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga proses pengakuan masyarakat adat bisa dikerjakan secara bersama-sama. Apalagi masyarakat adat menghadapi persoalan hutan adat yang di klaim oleh pemerintah. Tugas pemerintah hari ini adalah mengatur, namun jika hari ini masyarakat adat ingin mengatur hidupnya (tata kelola hidup) pemerintah pun harus memfasilitasi sehingga berjalan selaras demi pembangunan berkelanjutan secara bersama.
Arfian pun menegaskan bahwa musyawarah ini untuk mendapatkan kata sepakat, apakah lahan-lahan masyarakat mau dipetakan yang nantinya akan dijabarkan dalam sketsa. Menjadi hal krusial dalam sesi ini adalah menentukan sikap bersama untuk proses pemetaan wilayah adat. Selain itu, para rato ini sumber informasi untuk melihat batas-batas wilayah adat, menjadi bagian penting dalam pemetaan partisipatif, sumber data sosial terkait wilayah adat soal batas wilayah adat, soal sejarah,dan lain lain sebagainya terkait wilayah adat.
Hasil ini nantinya akan kembali didiskusikan lagi dalam proses klarifikasi dan verifikasi data sosial yang sudah didapat dari para Rato.
Ini gerakan besar dimana para kepala suka bersepakat untuk membangun komitmen bersama dalam melakukan dialog terkait dengan proses pemetaan partisipatif wilayah adat.
Harapan yang lahir dari masyarakat adat tentu akan diteruskan kepada pemerintah untuk secara serius dan bersama-sama melakukan penggalian data yang lebih dalam lagi. Masyarakat sangat membutuhkan peran-peran pemerintah daerah untuk mewujudkan keinginan masyarakat adat sebagai bentuk melestarikan kearifan lokal yang ada serta pengakuan terhadap masyarakat adat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H