Mengapa hakim dipanggil Yang Mulia? Sebab kemuliaan seorang hakim terus melekat sepanjang hayatnya. Pun demikian dengan para hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Sebagai penjaga konstitusi, peran MK begitu vital dalam penegakkan hukum di negeri ini. Lahirnya MK sebagai produk reformasi 20 tahun silam, sekaligus mengukuhkan babak baru peradaban konstitusi Indonesia menuju supremasi konstitusi.
Sebelum MK hadir, Indonesia menganut paham supremasi parlemen model Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Artinya, otoritas tertinggi negara ada di parlemen. Resikonya sangat besar. Ibarat bom waktu yang kapan saja bisa meledak, MPR dapat menjelma menjadi penguasa absolut karena produk-produk hukum yang dikeluarkan tidak bisa diubah, apalagi dibatalkan, sekalipun itu oleh lembaga yudikatif.
Tapak Tilas Sepak Terjang MK
Keberadaan MK menutup peluang terbentuknya tirani kekuasaan tanpa batas. Maka tak heran, di awal kemunculannya, MK memiliki kredibilitas yang begitu diagung-agungkan masyarakat. Tingginya rasa percaya rakyat membuat para hakim MK sering diberi predikat sebagai manusia setengah dewa. Ini semakin diperkuat oleh data-data statistik Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang ketika itu mengungkapkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja MK selalu konsisten di atas 60 persen.
Tak cuma itu, untuk menjadi seorang hakim MK, sosok negarawan merupakan salah satu syarat mutlak. Ini sangat istimewa karena kata ‘negarawan’ bahkan tertulis dalam UUD 1945. Menariknya, pada posisi seperti presiden, ketua DPR, ketua MPR atau hakim agung—untuk sekadar menyebut jabatan-jabatan vital nan strategis di republik ini—syarat serupa tidak tertuang secara eksplisit dalam UUD 1945.
Setelah hampir berusia 20 tahun, MK telah banyak berkarya dan tentu layak diapresiasi. Sila pantau official website MK. Sampai tahun 2022, terdapat 1573 putusan MK terkait produk legislasi DPR. Dari jumlah itu, 105 permohonan dikabulkan sepenuhnya; 185 permohonan dikabulkan sebagian; 161 permohonan ditarik kembali; 502 permohonan tidak dapat diterima; 25 permohonan gugur; 14 permohonan ditolak karena tidak masuk dalam kewenangan MK; 580 permohonan ditolak MK dengan berbagai alasan yang diputus MK dalam pertimbangan hukumnya dan satu permohonan sela diterima.
Riset tahunan SETARA Institute terhadap kinerja MK (data periode 10 Agustus 2019-18 Agustus 2020) pun turut memberi sinyal positif. MK masih dianggap sebagai salah satu mekanisme nasional penegakkan HAM yang paling efektif melalui putusan-putusannya yang kondusif dan kontributif pada pemajuan HAM dan demokrasi.
Teranyar, MK memutuskan bahwa Pemilu tahun 2024 mendatang masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Putusan itu disambut gembira oleh banyak pihak, karena mayoritas rakyat Indonesia cenderung menolak sistem proporsional tertutup. Survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia, misalnya, menunjukkan dari 1.220 responden yang mewakili seluruh wilayah Indonesia, 80,6 persen menyatakan setuju dengan Pemilu sistem proporsional terbuka.
Sebelumnya, beredar rumor kencang yang menyebut bahwa MK telah mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan mengembalikan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Putusan ini menjadi sinyal bahwa MK masih berada pada jalur yang tepat dan tidak terjebak nostalgia masa lalu ketika pada masa Orde Baru, Pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup.
Sejumlah Kontroversi
Namun harus selalu diingat, meski acap diberi label sebagai wakil tuhan, kesembilan hakim MK tetaplah manusia biasa. Karena manusia biasa, keteledoran dapat terjadi. Dan, faktanya, ketika hakim MK terjerat kasus hukum, kepercayaan publik yang tadinya tinggi bisa tergerus, turun secara drastis.