(foto ilustrasi ; kompas.com)
Dari laman Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta. angka pengangguran terbuka Propinsi tersebut pada tahun 2019 sebesar 6,22 persen, mengalami peningkatan yang singnifikan pada tahun 2020 yaitu sebesar 10,95 persen.
para pekerja terpaksa berhenti bekerja karena perusahaan tempat mereka berkerja terdampak kebijakan Pemberlakuan Pembatasan, pada saat itu.
Hal ini merupakan penyebab dari wabah yang sangat ganas, dan dampak dari Pembatasan-pembatasan yang ada.
Sehingga membuat hampir setiap sendi-sendi kehidupan di DKI Jakarta merasakan dampaknya.
Pada sektor ekonomi, tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang tidak dapat beroperasi lagi secara maksimal, dan pelaku usaha ekonomi menengah kebawah terpaksa mengurangi aktivitas mereka, sehingga menghasilkan bibit Pengangguran-pengangguran baru. Daya beli masyarakat DKI Jakarta yang menurun drastis.
Sangat miris rasanya mejadi pelaku kebijakan, bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati.
Pada saat itu pemerintah dan pelaku kebijakan sungguh sangat berada diantara dua pilihan yang sangat sulit, jika tidak ada pembatasan maka akan banyak nyawa yang melayang, ada pembatasan maka pasti akan ada banyak yang terdampak, belum lagi dari kritikus warung kopi, dengan dialetika gaya mereka, dan materi yang katanya. "istilah ini sering disebut, dengan istilah debat kusir".
Artinya, saat itu pemerintah dan pemerintahan DKI Jakarta, belum dapat membuat publik sosial dapat percaya terhadap tatakelola dan pelayanan yang diberikan untuk mengatasi, dan menyelesaikan permasalahan tersebut.
Penerapan pembatasan saat itu bukan hanya berdampak pada sektor Perkenomian saja, namun dampak Psikis juga timbul akibat dari penerapan pembatasan yang sering dimodifikasi atau berganti-ganti istilah, yang tentunya bedasarkan hasil evaluasi data dan fakta dilapangan yang terbaru.
Mari kita coba sajikan ulang, sajian terkait sejarah kelam yang tentunya kita semua berharap tak akan terulang kembali.