Tepat pada tanggal 7 Oktober di tahun 2023 lalu, Hamas sang pejuang Palestina melancarkan serangannya ke Israel melalui jalur perbatasan Gaza, dengan klaim yang menembakkan sekitar 5000 roket disusul dengan berbagai kendaraan perang yang masuk ke daerah Israel. Pemerintahan Israel yang sempat mengalami kecolongan, dengan sekitar 240 orang dari kelompok Israel berhasil disandera ke kawasan Gaza, sehingga membuat serangan balasan dengan mendeklarasikan peperangan antara kedua belah pihak. Sejumlah serangan dari berbagai artileri menargetkan banyak tempat. Alhasil sekitar 15.000 warga Gaza tewas atas aksi saling serang ini. Namun keduanya sepakat untuk melakukan jeda kemanusiaan selama sekitar 49 hari tepatnya sejak tanggal 24 November hingga 1 Desember 2023.
Berbagai serangan berbalas yang terjadi selama berbulan - bulan bahkan sejak berpuluhan tahun lalu, nyatanya memberikan banyak sekali kerugian, khususnya terhadap warga sipil yang menjadi korban tidak bersalah atas konflik laten ini. Ratusan ribu warga telah menjadi korban jiwa yang bahkan didominasi oleh anak - anak sebagai penerus masa depan bangsa. Tidak hanya itu, kerugian material , lingkungan, psikologis dan sosial juga turut dirasakan warga sipil tanpa tahu harus mengadu pada siapa. Salah satu dampak yang warga rasakan dan turut menjadi agenda dunia di masa ini yakni krisis pangan yang semakin menjadi akibat konflik yang tidak berkesudahan.
Dampak mematikan ini bermula pada ratusan tahun lalu, tepatnya bermula pada 2 November 1917 kala Menteri Luar Negeri Inggris menuliskan surat bernamakan Deklarasi Balfour yang menyatakan "pendirian rumah untuk orang Yahudi di Palestina", sehingga terjadilah gelombang migrasi besar - besaran khususnya pasca gerakan Nazi. Kedatangan bangsa Yahudi ini menciptakan kekhawatiran untuk warga Palestina akan perubahan demografi di negaranya, sehingga terciptalah pemberontakan dari warga setempat. Pemberontakan yang berupa aksi boikot dan perlawanan terhadap Inggris dan kolonialisme memulai aksi kekerasan manusia yang diperkirakan hampir sekitar 5000 warga Palestina yang terbunuh dan sekitar 20.000 orang terluka. Resolusi yang diberikan PBB pun ditolak sebab berisikan rencana pemberian sekitar 56% wilayah Palestina kepada negara Yahudi. Hingga pada 1948 para militer Israel memulai operasinya sendiri untuk melawan Palestina, sehingga terjadilah peperangan yang tidak berkesudahan sampai saat ini, yang mana kala itu disebut sebagai "Peristiwa Nakba".
Bertahan hidup di tengah krisis pangan dan aksi kekerasan yang melanda menjadi salah satu perjuangan warga Palestina pada saat ini. Sekitar lebih dari 20% penduduk yang mendiami Tepi BArat dan lebih dari 50% penduduk di Jalur Gaza merasakan hidup dalam kerawanan pangan. Jelas dampak ini berhubungan dengan bagaimana kerusakan lingkungan yang menjadi salah satu dampak dari perang yang terjadi. Selain itu hal kedaulatan Palestina yang dianggap melemah untuk mempertahankan kedaulatan pangannya, yang termasuk didalamnya adalah hak suatu negara untuk dapat melakukan dan mengamankan swasembada pangan dengan cara yang demokratis untuk warga negaranya. Krisis pangan yang terjadi di Palestina juga tidak luput dari kemiskinan, pengangguran serta tingginya harga pangan yang terjadi.
Sejak tahun 1967, Israel berhasil menjarah ribuan dunum tanah yang dimiliki oleh para petani Palestina untuk dijadikan sebagai tempat bermukim ilegal di sepanjang tembok pemisah di Tepi Barat. Para petani juga mengalami hambatan dan tantangan tersendiri kala mengelola tanah dan pasar mereka sebab adanya pos - pos pemeriksaan ataupun penghalang jalan di seluruh Tepi Barat. Tidak hanya itu para petani di Gaza juga kehilangan 25% lahan pertanian yang menjadi "tanah paling subur" sebab dijadikan sebagai zona penyangga di perbatasan Israel. Kelangkaan pangan semakin menjadi kala aksi Blokade Israel terhadap Gaza yang menutup akses terhadap makanan terhadap penduduk Palestina, sehingga menyebabkan penduduk Palestina khususnya warga Gaza harus bergantung pada bantuan dari dunia internasional.
Per tanggal 21 Desember 2023 lalu laporan dari 23 badan PBB serta NGO menyebutkan bahawasanya hampir sekitar 600 ribu warga Palestina yang berada di Jalur Gaza mengalami kelaparan kritis sebab volume makanan yang sangat tidak memadai untuk dapat masuk ke wilayah itu. Kondisi yang mencekam ini ditambah dengan kenyataan tidak adanya air bersih yang berada di wilayah tersebut. World Food Program atau WFP juga telah memperingatkan apabila perang yang terjadi antara Israel dan Hamas ini terus berlanjut sampai jangka waktu enam bulan kedepan, maka rakyat Palestina akan mengalami bencana kelaparan yang begitu besarnya, dan hal ini jelas akan menimbulkan wabah penyakit lainnya, sistem kekebalan tubuh yang semakin lemah.
Kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini menunjukan bahwasanya hanya terdapat satu dapur umum yang beroperasi untuk melayani ratusan orang di Kota Rafah, Gaza, mengingat fasilitas yang sudah hancur akibat peperangan. WFP juga menyampaikan terdapat sekitar 2,2 juta warga Gaza yang saat ini berada dalam krisis pangan. Dimana ini mencakup sekitar 478 ribu orang berada pada tingkat kritis, 1, 17 juta berada pada tingkat darurat dan sekitar 577 ribu orang berada pada tingkat kelaparan.
Kenyataan pahit yang terpaksa dirasakan warga Palestina, membentuk aksi solidaritas banyak negara di dunia. Salah satunya Indonesia yang sejak awal menyatakan posisinya sebagai pendukung Palestina. Berbagai cara dilakukan Indonesia, baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat untuk turut hadir dalam persoalan kemanusiaan di Palestina. Dengan mengadakan donasi terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia agar dapat mendistribusikan ribuan bantuan pangan yang berada di kamp pengungsian. Selain itu berbagai kebutuhan darurat juga turut didistribusikan ke wilayah Gaza seperti matras, selimut maupun peralatan medis serta obat - obatan. Hampir sekitar 51,5 ton bantuan kemanusiaan disumbangkan Indonesia melalui Pangkalan TNI Angkatan Udara sebagai aksi solidaritas kepada Palestina.
Krisis pangan yang menjadi salah satu agenda dunia, turut mengantarkan warga Palestina terhadap perjuangan hidup yang lebih keras lagi. Rapuhnya perekonomian negara, rusaknya segala fasilitas dan infrastruktur menyebabkan Palestina rentan terhadap dinamika permasalahan pangan global yang terjadi saat ini. Selain itu pendanaan yang terjadi pada organisasi internasional khususnya pada badan bantuan dan pekerjaan PBB yang menjadi salah satu harapan warga tengah mengalami krisis sebab berbagai permasalahan yang terjadi di belahan dunia lainnya.
Referensi
"Food Security in the Occupied Palestinian Territories - occupied Palestinian territory." 2015. ReliefWeb. https://reliefweb.int/report/occupied-palestinian-territory/food-security-occupied-palestinian-territories.