Julius Pour, bagi sebagian orang, adalah nama besar sebagai wartawan dan penulis memoar, bukan sejarah. Reputasinya yang paling mencorong ketika dia menulis biografi jenderal Orde Baru, Leonardus Benyamin Moerdani (2 Oktober 1932-29 Agustus 2004).
Julius masih menulis di Harian Kompas, meski tak lagi bekerja di koran itu. Baru saja saya tak sengaja membaca tulisan lamanya, "History", "His Story", atau Sekadar "Sorry" di Harian Kompas, Sabtu, 13 September 2008.
Saya tak terganggu dengan kesangsiannya terhadap memoar Letnan II Soekardjo Wilardjito dalam buku Mereka Menodong Bung Karno, terbit tahun 2008. Pada intinya, Julius menilai cerita Soekardjo tak masuk akal. Terutama soal para perwira tinggi suruhan Soeharto menodongkan pistol kepada Presiden Sukarno di Istana Bogor agar meneken surat yang kemudian disebut Supersemar, Surat Perintah 11 Maret.
Satu hal yang membuat saya terganggu ketika Julius menulis;
Bahwa Soekardjo diciduk setelah Supersemar memang sudah seharusnya demikian. Sewaktu menjadi mahasiswa UGM, dia aktivis CGMI. Bahwa CGMI bukan ormas PKI, juga jawaban standar. Sebagaimana Gerwani, SOBSI dan Pemuda Rakjat, mereka tidak akan pernah mengaku bahwa mereka ormas pendukung PKI.Saya bersimpati kepada nasib Soekardjo serta perjalanan malang dari ribuan orang seperti dia. Namun, hal tersebut tidak lantas mendorong saya tidak kritis mempertanyakan setiap detail dari his story.
Pada alinea pertama itu, dia menunjukkan dirinya tipikal wartawan Orde Baru yang melihat segala yang dianggap terkait PKI harus diciduk. Tuan Julius, tidakkah tuan sebagai pembaca sejarah, berpikir bahwa seseorang diciduk atau tidak harus berlandaskan alasan yang kuat secara hukum?
Jika ia "hanya" aktivis gerakan mahasiswa yang meskipun secara politik terkait PKI, cukupkah ia jadi alasan untuk diciduk? Kalau Soekardjo mesti diciduk, apa sesungguhnya indikasi pelanggaran hukum yang dilakukannya waktu itu?
Tuan Julius, aku berkata kepadamu, jika mengikuti logika gebyah uyahmu, engkau juga layak diciduk. Alasanku, engkau bekerja buat Harian Merdeka. Tuanmu di koran itu adalah Sigid Haryo Wibisono yang sudah dituntut hukuman mati karena dakwaan bersekutu dengan bekas Ketua KPK Antasari Azhar dalam membunuh Nasrudin Zulkarnaen. Lalu, engkau juga bersekutu di koran itu dengan Mulyana W Kusuma, bekas terpidana korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tapi adakah orang yang berseru supaya engkau diciduk? Tidak tuan, sebab untungnya masih ada penegak hukum yang waras di negeri ini. Engkau memang bernaung di bawah payung Sigid Haryo Wibisono, tetapi jika engkau tak terkait langsung dengan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, engkau berhak tenang-tenang saja. Nikmatilah masa tuamu. Senikmat-nikmatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H