Lihat ke Halaman Asli

Politik Hukum Perkawinan dan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Diperbarui: 14 April 2022   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Deby Sagitaria Tri Wulandari
NIM    : 214102030021
Prodi  : Hukum Tata Negara
Perkawinan beda agama selalu menjadi polemik.  Ada dalil yang mengatakan bahwa itu dilarang tetapi ada pula yang mengatakan bahwa ada kekosongan hukum dalam perkawinan beda agama, karena tidak diatur secara jelas. Dengan memperhatikan politik undang-undang Perkawinan, pembentuk undang-undang cenderung melarang perkawinan beda agama, khususnya masyarakat muslim yang menganggap perkawinan beda agama itu tidak sesuai dengan hukum Islam.
Perspektif politik hukum, oleh karna itu kita sebagai warga negara Indonesia yang menganut agama Islam sebaiknya harus menaati perintah agama Islam, karna secara terang-terangan Islam melarang adanya perkawinan beda agama, hal tersebut juga tertulis dalam Qs. Al-Baqarah ayat 221 yang artinya "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik".

Pembahasan tentang perkawinan beda agama di Indonesia merupakan sesuatu yang rumit. Sebelum berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan), perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Adapun perkawinan campuran diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan. Menurut Sudargo Gautama, pasal tersebut mempunyai pengertian sebagai perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan, yang didalamnya antara lain disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam religi, golongan rakyat, tempat kediaman atau agama.
Setelah berlakunya UU Perkawinan, secara tegas perkawinan campuran dinyatakan dalam Pasal 57 yaitu perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang di Idonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, kerana perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian, perkawinan beda agama bukan lagi termasuk dalam perkawinan campuran.

Perkawinan beda agama, akhirnya menjadi polemic tersendiri. UU perkawinan yang tidak mengatur secara jelas tentang perkawinan beda agama, membuat pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut menjadi relatif sulit. Dalam UU perkawinan Pasal 2 bahkan disebutkan bahwa perkawinan akan sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari pasal ini dapat dinyatakan bahwa perkawinan di Indonesia adalah perkawinan berdasarkan hukum agama. Sehingga perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan atau menyalahi hukum agama dianggap tidak sah. Dari pasal tersebut, biasanya ditarik pengertian juga bahwa perkawinan beda agama yang tidak diperbolehkan oleh suatu hukum agama, menjadi tidak sah pula. Di sisi lain, terdapat pula pemahaman bahwa terdapat kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama ini, karena tidak diatur secara jelas. Berdasarkan Pasal 66 UU perkawinan, maka kembali ke peraturan lama, yaitu GHR.

Agar terhindar dari simpangsiur pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia, perlu kita kaji interpretasi hukum perkawinan secara teleologis, yaitu tujuan para pembuat hukum dalam merumuskan hukum perkawinan tersebut, terumata terkait dengan pengaturan perkawinan beda agama yang ada di Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline