Lihat ke Halaman Asli

Sendiri

Diperbarui: 24 Februari 2016   07:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku merapatkan diriku bersandar dibalkon atas, sembari ditemani hujan yang deras aku menyeruput hot chocolate sambil mengacak ngacak galeri foto dalam ponselku. Angin semakin dekat terasa menusuk-nusuk hingga ke pangkal tulang, aku tergetar bukti bahwa sepertinya aku rindu pelukan itu. Dalam keadaan dingin seperti ini aku bisa merasakan ada yang ganjil, ketika dulu kamu senantiasa merangkul aku menuju lelap, ketika kamu yang tidak pernah absen meneguk soft drink kala hujan rintik-rintik, dan ketika kamu yang tidak pernah lupa bagaimana membuat aku nyaman. Aku disini berharap kamu datang, aku tidak pernah lelah untuk menunggu bunyi bising itu datang dari kejauhan.

Mungkin pesan singkatmu kemarin dapat mengobati rasa rinduku akan kamu, namun ia tidak akan pernah mengobati luka yang kamu tinggalkan ini. Luka ini bertengger disana menunggu kamu datang lagi membawa plester agar ia segera sembuh. Apakah kamu tau aku tidak bahagia disini, semenjak kamu tinggalkan aku menjadi berantakan tiada arah dan tujuan. Sesekali menjenguk foto kenangan kita yang kusembunyikan dibawah kasur justru membuat aku semakin rindu, serta memohon pada Tuhan agar segera menyatukan kita kembali. Aku takut jikalau gadis itu memang benar-benar yang terakhir untukkmu, maka tidak akan ada lagi kesempatan untuk aku bisa memulai kisah kita dari awal lagi.

Aku sendiri berdiam penuh ketakutan dan rasa bersalah. Mengapa dulu aku tidak pernah menuruti mu? Hingga sekrang baru aku sadari bahwa sesungguhnya aku kehilanganmu seutuhnya. Aku
mendekat pada kegelapan yang disambut dengan bau tanah bekas hujan tadi. Namamu seperti muncul diotakku, tapi aku tidak berani untuk menyapamu karena aku takut kau akan mengacuhkan aku seperti dulu kau mengacuhkan dia. Aku meresapi momen yang sekarang jadi memori, betapa indahnya ketika ternyata tanganmu itu seperti zat adiktif yang membuat aku ketagihan untuk menggenggamnya dan seakan akan tak mau kulepaskan.

Aku masih disini menunggumu, penuh harapan bahwa kebisingan itu akan kembali.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline