Lihat ke Halaman Asli

Musibahkah atau Tragedikah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah umum diketahui, bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang “pemaaf dan mudah lupa”. Kejadian sedih apapun yang menimpa sanak keluarga atau kerabatnya selalu akan sangat meyedihkan, hingga ratapan seluruh keluarga akan dengan mudah menular ke tetangga terdekatnya dan apapun penyebabnya, apakah  karena kecelakaan ataukah penyakit maka pada akhirnya selalu “pasrah dan menerima” karena itu adalah sebuah “musibah”.

Sikap seperti inilah yang seringkali mengakibatkan sebuah “musibah” harus terjadi berulang kali seolah hanyalah sebuah kecelakaan biasa yang tidak dapat dihindari.

Kata musibah memang bisa diartikan sebagai kejadian yang berakibat menyedihkan dan disebabkan oleh sebuah peritiwa yang tidak diharapkan dan datang tanpa sengaja serta “tidak dapat dihindarkan”.

Namun, apabila kejadian yang menyedihkan tersebut disebabkan oleh sebuah “proses pembiaran” sehingga mengakibatkan harus terjadi berulang kali, apakah masih layak disebut sebagai sebuah “Musibah”?Tentu saja tidak bukan! Dan untuk kondisi seperti itu rasanya lebih pantas disebut sebagai “Tragedi ”.

Nah, tragedi-tragedi yang sangat memilukan dan menyedihkan yang terkesan begitu murahnya nyawa rakyat Indonesia itu selalu terjadi berulang-ulang dan hanya ramai dibicarakan sesaat setelah kejadian saja untuk kemudian hilang tanpa bekas.

Tengok saja sebuah kejadian yang belum lama terjadi, yaitu dua orang pengendara sepeda motor di Jatim tewas ditabrak KA akibat jalur KA di jalan raya tak berpalang pintu!Rasanya kejadian serupa bukan hanya sekali atau dua kali saja terjadi, tapi seringkali ! Namun mengapa seolah Pemda tak pernah peduli???Dan yang terjadi biasanyahanya cukup dengan keterangan pers oleh pejabat terkait sehubungan dengan peritiwa tersebut, dan setelah itu berjalan seperti biasa tanpa upaya untuk mencegah dengan memasang palang pintu. Bila diperhatikan rel KA yang tak berpalang pintu seperti itu bukan hanya satu atau dua di negeri ini, akan tetapi cukup banyak !  Dan sebagai pembenar alasan klasikpun kemudian diperdengarkan oleh pejabat terkait seperti tidak adanya dana untuk membuat palang pintu, atau alasan lucu lainnya seperti : “biasanya masyarakat sudah tahu jadwal lintasan KA dan kecelakaan itu hanya menimpa orang-orang yang nekad melintas !!!”Ooohhh .....Halloooooo.........bukannya sudah kewajiban Pemda/Dishub mencegah terjadinya kecelakaan terlepas dari si korban itu nekad atau lalai???

Pembiaran lainnya yang juga kerap menelan korban, yaitu lubang besar menganga di trotoar sebagai akibat dibukanya tutup saluran air atau rusaknya trotoar tersebut. Untuk ini, rasanya koran-koran kerap memuat peristiwa kecelakaan disebabkan terperosoknya pejalan kaki kedalam lubang menganga tersebut, dan tak sedikit yang hanyut terbawa arus air selokan saat hujan besar tiba. Pertanyaannya : apakah Pemda/Dishub pernah belajar dari kejadian-kejadian tersebut? Mengapa harus selalu dan selalu terjadi???

Masih banyak lagi pembiaran sarana publik yang seharusnya sudah menjadi kewajiban Pemda/Dishub untuk memperhatikannya, seperti lubang-lubang dijalan raya yang lebih menyerupai kubangan kerbau tanpa upaya perbaikan sarana tersebut. Dan tentunya kecelakaan pun seringkali terjadi akibat lubang tersebut.

Dan baru kali ini Dishub memberikan penjelasan berulang-ulang bahkan hingga ditayangkan di stasiun-stasiun TV kepada masyarakat pengguna jalan Tol Cipularang untuk berhati-hati di Km 97 –Km 100, itupun karena seorang istri Syaiful jamil yang public figure menjadi korban padahal kecelakaan di Km tersebut, padahal bukankah sebelumnyapun sudah seringkali terjadi ?

Dalam hal ini, Pemda/Dishub sudah seharusnya dan menjadi kewajibannya memperbaiki sarana-sarana publik seperti itu,jangan selalu memanfaatkan sifat “pemaaf dan mudah lupa” masyarakat sehinngga pembiaran terus terjadi, dan jangan karena tidak adanya dana atau anggaran selalu menjadi alasan, karena rakyat kini sudah melek dan tahu banyaknya anggaran Pemda yang raib seolah tak bertuan.

Jangan harus selalu terulang “Tragedi-tragedi” kemanusiaan yang menelan korban masyarakat pembayar pajak yang seharusnya menikmati haknya setelah melunasi kewajibannya membayar pajak. Bukankah rakyatpun akan terancam sanksi bila lalai membayar pajak?

Musibah dan tragedi itu jelas sangat berbeda artinya, oleh karena itu janganlah tragedi kemanusiaan yang menimpa masyarakat sebagai akibat kelalaian Pemerintah dimanipulasi sebagai sebuah musibah !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline