Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan Air untuk Berwudhu

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kulangkahkan dua derap kaki dari tempatku berkarya Sebelumnya terdengar muadzin mengumandangkan Adzan. Dia bukan Bilal Bin Robah.Dia hanya seorang pedagang asongan yang sedang duduk beristirahat dari kegiatannya berjualan. Kulanjutkan langkah yang sempat terhenti melihat pedagang , mungkin dia bernama Ujang, atau bisa juga dia bernama Johannes atau mungkin Susilo tidak memakai Bambang Yudhoyono tapi tak mungkin dia bernama Sri, Dewi, atau Lastri karena dia seorang lelaki tulen. Seharusnya tulisan ini tidak boleh kutulis kerena tidak ada makna apa-apa didalamnya. Namun biaralah, biar meramaikan cerita saja.

Kubuka pintu kamar mandi kecil disamping masjid itu. Toilet modern terpampang dengan eloknya. Begitu bersih, wangi dan higienis. Inilah tempat yang seharusnya menjadi tempat pembersihan diri. Bersih dari debu, dari sentuhan-sentuhan yang tidak perlu tersentuh ( apakah itu ? ), dari hadas kecil maupun besar . Selanjutnya kubuka kran air dengan perlahan. Biar dia juga mengalir tanpa tekanan. Karena jika ditekan tidak akan terkendali dan akhirnya membludak. Apakah juga itu ? Sudah jelas itu adalah air. Lalu kubaca niat dengan bahasa Indonesia karena aku tak hafal bagaimana bahasa Arab menterjemahkannya. Kubersihkan genggaman tangan yang penuh coretan bolpoin hingga tak menyisakkan noktah sedikitpun. Terus hingga ke celah-celah tangan yang intim, biasanya sekat jari jemari ku menyebutnya. Akhirnya dia bersih. Aku yakin itu karena memang benar-benar bersih. Memang tidak ada coretan-coretan lagi. Kemudian aku berkumur-kumur, dan ketika termuntahkan, banyak sisa-sisa makanan terkeluarkan. Ada butiran nasi, Daun bawang, cabai, hingga, serpihan daging ayam yang bersembunyi di serambi gigi dan gusi. Jorok terdengar tapi memang begini adanya. Seharusnya untuk lebih bersih lagi sebaiknya kita menggunakan siwak, sejenis pembersih gigi (sikat gigi : red) zaman Nabi dulu biar kotoran-kotoran yang bersembunyi itu berlari ketakutan. Namun karena tak ada, jadi menggunakan barang seadanya saja yaitu lidah dalam mulutku.

Begitu mulutku kunyatakan bersih, air kran itu terus menyapa dan kembali menyerang hidungku yang saat itu dalam keadaan berlendir, atau istilah sakitnya bernama pilek atau istilah penyakit fenomenalnya itu influenza. Kukeluarkan dia tanpa menggunakan emosi karena jika kupakai itu, telinga akan terasa sakit Karena kalau tidak salah ada jaringan khusus yang menghubungkan telinga dan hidung .Aku lupa. Kalau tidak salah namanya saluran eustachius . Mohon dikoreksi tapi jangan diberi nilai merah jika aku salah, karena yang Maha Benar hanya Allah SWT.

Mungkin upil dan teman-temannya berbahagia bisa kukeluarkan namun tetap saja lendir dalam hidungku tak kunjung berhenti.

Akhirnya sampai juga pada wajah. Wajahku yang jelek kusam dan kotor namun sepertinya semua itu adalah sebaliknya, kubersihkan dengan kedua telapak tanganku yang sudah kunyatakan bersih tadi.Kugosok hingga pelipis, tak lupa ku bersihkan alis tebalku karena dugaanku banyak debu hinggap disana. Kemudian disekitar hidung, dibawah bibir dan sekitar rambut tak lupa mereka kubersihkan dengan penuh kekhusuan. Lalu perjalanan air berlanjut untuk membasuh pergelangan tanganku hingga sikut. Mungkin harus sedikit melibatkan emosi disini karena kedua tanganku terkadang menyentuh atau tersentuh sesuatu yang tidak boleh disentuh tadi . Tiga kali kulakukan secara berulang dari lengan kanan menuju lengan kiri. Begitu seterusnya.

Sesudah bermain air cukup banyak, sekarang saatnya bermain dengan sedikir air. Kran air tersebut tak kukecilkan tekanannya. Namun intensitasku mengambil air dibatasi. Kubersihkan kepala terutama rambut hingga mengakar bersih. Karena aku yakin kutu-kutu dalam rambutku perlu minum. Bukan itu ternyata, tapi debu, keringat pasti tersimpan dan berakumulasi disini. Belum lagi sisa berpikir kotorku kutakut masih hinggap dikepalaku, maka kubersihkan dengan maksud menyejukkan pikiran-pikiran tak karuan seperti itu.

Telingaku yang sering kugunakan untuk mendengar sesuatu yang seharusnya tidak kudengar, tak luput kubersihkan dengan telunjuk tanganku. Sampai begitu bersih hingga ke sekat belakang telinga yang menghubungkan telinga dan rambut. Mudah-mudahan telinga yang kotor oleh dosa ini, menjadi steril untuk lebih bisa mendengarkan sesuatu yang patutnya didengar.

Terakhir sebagai pamungkas adalah kubersihkan dan kuseka kaki yang kupakai untuk melangkahkan ke tempat yang baik , kurang baik, sangat baik, cenderung baik, buruk, sangat buruk, bahkan begitu sangat buruk. Kubersihkan hingga ke sela-sela jemari kaki. Kugosok telapak kaki yang kotor dan berliku oleh penyakitn dalam istilah Sunda yaitu “perpecahan suku a.k.a rorombeheun” atau dalam istilah kedokteran kulit adalah kaki pecah-pecah. Kemudian tumit yang hitam juga ikut kubersihkan. Begitu seterusnya hingga selesai dan tentunya sejumlah tiga kali berturut sama dengan yang lain.

Alhasil ceritaku berwudhu berakhir dengan tutupan doa sesudah wudhu yang aku sendiri sampai sekarang tidak bisa menuliskan huruf Arabnya dengan baik ..

Langkahku yang panjang kulanjutkan untuk menemui Sang Empunya pemilik Kekuasaan Tiada Tara Bandingannya, Robbi Robbi Allah ..

Tentunya aku shalat dengan muadzin yang tidak kuketahui namanya tadi dan beberapa jemaat lainnya. Begitu nikmatnya berwudhu hingga kubisa menjabarkannya menjadi sebuah cerita perjalanan ..

Lupa tanggal menulis …




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline