Lihat ke Halaman Asli

[FFK] Pada Suatu Sore yang Basah dan Dingin

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1300422617296121798

Sore hari yang basah. Hujan turun dengan deras. Rintiknya masih keras menerpa kaca jendela rumah kami. Kala itu kupandangi jalanan yang basah dirimbun jatuhan air dari langit. Tanpa terasa mataku menatap sesosok tubuh berpayung. Berjalan kaki dibawah hujan sore Kota Bogor. Aku sedikit terheran, dia memasuki pekarangan rumah kami.

Dengan takzimnya ia mengetuk pintu dan mengucapkan, "Assalamualaikum.." aku menjawab," Waalaikum salam...”

Dengan tidak sabar kubukakan pintu, dan, betapa kagetnya aku. Orang yang bertamu itu ternyata Tan, Tan Malaka, tidak salah lagi. Ia pun tak sungkan memperkenalkan namanya, ia tidak seperti seseorang yang ada di tahun kemerdekaan, yang menutup rapat jati dirinya, saat ini di ambang pintu ia sangat terbuka. Lengkap dengan kemeja kotak-kotak dan celana pendek warna coklat tua. "Saya Tan Malaka, katanya, dulu sering disebut legenda padahal saya sebenarnya ada, tidak kemana-mana. Bahkan sampai saat sekarang saya tetap memperhatikan republik yang jauh dari harapan saya ini.” ucapnya dengan nada getir. Aku sekeluarga terkesima sekaligus sungguh senang dengan kehadiran tokoh ini. Istriku segera berlari ke warung membeli sedikit terigu, satu sisir pisang dan beberapa butir telor untuk membuat penganan agar perbincangan dengan tokoh misterius ini bisa berjalan tanpa harus menderita keroncongan. Mulailah Tan bercerita tentang pengalamannya. Ia dilahirkan jauh di sebuah daerah di Payakumbuh, tepatnya di Nagari Pandan Gadang, Suliki. Ia masuk sekolah raja di Bukittinggi, lalu karena pertolongan gurunya yang sangat baik hati, ia dapat melanjutkan sekolahnya ke sekolah guru di Harleem, Belanda. Setelah dari sana ia mengajar di Deli. Ia melihat pribumi dihisap tenaganya oleh penjajah Belanda tanpa diberi upah yang sepadan. Ia mengatakan pengalaman itu sangat membekas di hatinya dan mendorong dirinya untuk menjadi seorang Marxis. Istriku masuk membawa pisang goring panas. Tan menyomotnya sebuah, dan dengan semangat kembali melanjutkan uraiannya. Ia bercerita bahwa ia menjadi komunis, tetapi itu hanya taktik dalam perjuangan. Waktu aku tanyakan, pengertian komunis itu sangat dekat dengan atheis, Tan menyanggahnya. "Siapa yang mengatakan saya atheis itu salah besar. Saya tidak atheis, saya kenal dengan Tuhan, saya juga melaksanakan kewajiban saya sebagai muslim, walau kadang tidak sempat karena saya selalu diburu oleh agen rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang", katanya. Aku tergerak menanyakan mengapa sewaktu akan proklamasi Tan tidak ikut aktif. Bahkan saya sedikit menyalahkannya karena menolak peran proklamator yang disodorkan oleh Sutan Sjahrir. Tan menjawab, "Situasi saat menjelang proklamasi itu memang kacau. Saya bahkan pernah bertamu ke rumah Sukarni, sekitar awal Juni 1945. Saya langsung datang dari Bayah, Banten dan memperkanalkan diri sebagai Ilyas Husein. Saya mengemukakan pikiran-pikiran saya tentang situasi Republik saat itu." "Sebetulnya ada dari mereka yang tahu kalau saya ini Tan Malaka, namun mereka tidak mau menanyakan langsung hal itu kepada saya. Bahkan saya mendengar bisik-bisik di belakang yang menganggap saya mata-mata Jepang. Saya hanya tersenyum saja. Memang harus saya akui saya tidak bisa langsung percaya saja kepada mereka karena seperti yang Anda ketahui saya ini pemberontak yang selalu diintai dan dicari-cari agen rahasia, makanya saya sangat berhati-hati mengemukakan jati diri saya". Aku mempersilakan dirinya untuk mencecap cangkir berisi teh panas. [caption id="attachment_95698" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber gambar: salihara.org"][/caption]

“Usaha saya tidak itu saja.” Tan melanjutkan kisahnya.

“Pada tanggal 6 Agustus 1945 saya mengunjungi BM. Diah redaktur koran Asia Raya di Jakarta. Saya kemukakan pikiran saya kepadanya, namun sayang sekali besoknya Diah ditangkap Jepang, dan karena saya pikir Jepang juga mencurigai kehadiran saya, akhirnya saya kembali ke Bayah.”

" Saya memang terlalu berhati-hati dan tidak mengungkapkan siapa saya kepada mereka, namun karena kehati-hatian saya jugalah semuanya menjadi tambah kacau", lirih Tan. Tampak air matanya mengalir, mengenang masa lalu yang tidak akan pernah kembali itu. "Pengalaman diburu selama 20 tahun oleh agen rahasia sangat membekas di hati saya", kata Tan.

“Saya tidak berani sama sekali menggunakan nama Tan Malaka. Kehati-hatian ini membuat kunjungan saya ke rumah Sukarni tempo dulu menjadi pergunjingan. Sukarni sendiri sebenarnya sudah menduga bahwa saya adalah Tan Malaka, tetapi ia tidak berani menanyakan hal itu secara langsung kepada saya. Bahkan tanggal 14 Agusttus 1945 saya kembali menemuinya, namun sepertinya saya memang tidak perlu terlibat dalam proklamasi kemerdekaan Republik ini, karena Chaerul Saleh yang saya temui setelah dari Sukarni, juga sibuk sekali sehingga tak sempat berbicara dengan saya", keluh Tan.

"Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.” sesal Tan lirih.

Aku tiba-tiba merasakan kepedihan hatinya. Kepedihan yang begitu mendalam. Kutatap sosoknya yang menua, penuh gurat lelah.

Hujan sore masih deras, seakan ingin meluruhkan kisah heroik yang memilukan. Embun membayang di sepanjang kaca jendela. Memantulkan satu sosok yang sedang termangu, dengan sebuah buku tebal dipelukannya.

-oOo-

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline