Lihat ke Halaman Asli

Mau Jadi Guru yang seperti Apa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OSN

Ilustrasi sumber  : http://www.lintasgayo.com/35155/disdik-aceh-tengah-gelar-persiapan-hadapi-osn.htmlibu

“Jadi  dari sekolah mana?”

“Dari sekolah X bu” ujar saya dengan menebar senyum membuka dan mengenalkan diri denganguru-guru dari berbagai sekolah dalam kelompok bidang studi yang sama.

Saya datang berkumpul bersama guru dari berbagai sekolah karena ingin menghadiri pertemuan guru-guru bidang studi untuk membahas mengenai soal-soal persiapan ujian yang berkaitan dengan materi ujian. Semangat? tentu saja, sangat jarang bisa bertemu teman-teman seprofesi untuk berbagi pengalaman dan membedah soal.

Pertemuan selama dua jam setengah cukup padat dan tidak terasa selesai juga membuat rancangan soal ujian. Tiba saat menentukan follow up lanjutan pada pertemuan selanjutnya.

“Kita bisa ketemu kan ya Hari Senin, minggu depan”? ujar seorang ibu guru dari sekolah B

“Kalau ada pertemuan minggu depan, agendanya apa ya bu?” ujar saya ingin tahu, bukannya apa-apa jadwal mengajar padat bila ada pertemuan lanjutan berarti sekian kelas akan saya tinggalkan sehingga siswa hanya mengerjakan tugas yang ditinggalkan guru.

“Oh, kita akan mengumpulkan soal-soal yang tadi kita kerjakan “ ujar ibu guru B yang ternyata ditunjuk sebagai ketua kelompok.

“Untuk mengumpulkan soal saja ya bu? Kenapa tidak menggunakan e-mail ? Kita bisa menunjuk siapa yang mau bertugas mengumpulkan via e-mail, setelah terkumpul nanti tinggal edit, (sebenarnya dalam hati saya bersedia kalau ditunjuk :D). Kita bisa tentukan batas akhir pengumpulannya, supaya minggu depan semua bisa selesai ”.Dengan polosnya terurai apa yang saya pikirkan. Hal yang biasa saya lakukan dengan teman-teman kuliah yang berjauhan dan bertebaran di sekitar Jakarta untuk mengurangi pertemuan “darat” dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah.

Percakapan di atas adalah sekelumit pembicaraan antar guru yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu, yang mengusikpemikiran saya. Mau tahu percakapan selanjutnya ?

Percakapan selanjutnya akhirnya terungkap bahwa ada beberapa guru menginginkan pertemuan darat , tatap muka langsung dengan alasan tidak punya alamat e-mail, punya alamat e-mail tapi tidak pernah buka e-mail, tidak punya saluran internet dan pengakuan mengenai gagap teknologi.

Akhirnya saya jelaskan bahwa membuka alamat e-mail itu mudah, saya bersedia kalau dimintai tolong membuatkannya bagi yang belum punya, yang sudah punya e-mail kan tinggal buka saja, tapi langsung ditangkis dengan alasan lupa alamat dan passwordnya. Ribet ya?

Aduh, speecless, bagaimana ini? Suatu fakta dihadapan saya memperlihatkan umur masih sekitar 40 tahun-an ternyata sudah mengalami hambatan teknologi.

Ada apa dengan para guru ini? Ini masih masalah e-mail, belum bicara mengenai media pembelajaran dengan menggunakan social media seperti twitter, pinterest, prezi atau e- learning dengan edmodo, moodle atau yang lainnya.

Bukan mau menghakimi, tapi justru lebih banyak ke arah pertanyaan reflektif... Inikah potret sesungguhnya, atau ini hanya sampel yang tidak merepresentasikan apa-apa.

Pendidikan abad ini memang dipenuhi dengan perkembangan teknologi yang luar biasa pesat dan kondisinya  guru adalah ujung tombak dari pendidikan itu sendiri. Menyadari bahwa bagian dari ujung tombak adalah suatu keharusan yang mendalam. Kesadaran bahwa sebagai ujung tombaklah yang seharusnya mendorong para guru untuk mau berinovasi bagi diri sendiri.

Bagaimana mungkin menciptakan anak didik yang melek ternologi kalau guru masih ada di zona aman nan puas atau menyerah dengan kondisi keterbatasan diri yang ada. Puas bila dikategoikan sebagai guru gaptek.

Menurut saya kesalahan terbesar sebagai seorang pendidik adalah kalau kita berhenti belajar dan tidak memiliki pemikiran yang terbuka bahwa guru sekalipun dengan ilmu yang sudah banyak harus terus mau belajar memperbaiki dan memperlengkapi diri serta terus belajar sepanjang hayat.

Namun ada  kenyataan menarik lainnya bahwa  bahwa di dunia maya saat ini ada beberapa situs guru yang dapat diikuti melalui twitter. Berdasarkan perbincangan dan informasi yang disajikan terlihat  banyak guru yang mau belajar dan terus sharing informasi mengenai pengalaman, berbagi ilmu dengan rendah hati, dan memberi semangat positif menebarkan virus belajar tanpa henti. Banyak guru yang mau terlibat dalam bincang-bincang edukasi, mau mengup-grade diri, dan open minded.

Dua kondisi ini memang berlawanan, tapi nyata dan aktual, silahkan menentukan pilihan. Menjadi guru memang membutuhkan semangat untuk mau terus belajar. Berhenti belajar artinya turut serta dalam carut marut dunia pendidikan. Sulit mengikuti perkembangan teknologi karena tidak punya akses sangat berbeda dengan tidak mau belajar walau punya akses teknologi. Untuk itulah diperlukan semangat untuk mau belajar dan tidak menyerah terhadap keterbatasan diri.

#Salam Peningkatan Kualitas Guru Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline