Lihat ke Halaman Asli

dearvioninot

Digital Learner and Living the Dream.

KDRT Bukan Cinta

Diperbarui: 8 Oktober 2024   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Akhir-akhir ini sosial media dipenuhi dengan berita mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga atau Domestic Violence. Sesuatu yang 'mungkin' dari dulu sudah banyak terjadi namun baru di zaman sekarang ini baru terblow up dengan kencang. 

KDRT menurut KBBI merupakan kekerasan dalam rumah tangga , perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis yang sifatnya melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penderitaan ini tidak hanya oleh pihak perempuan saja namun bisa juga pihak laki-laki.

Namun nyatanya, dalam hasil laporan Komnas Perempuan : CATAHU Tahun 2020 mencatat sebesar 4,783 kasus kekerasan fisik. Sementara dari 11.105 kasus yang ada 6.555 atau 59% merupakan kekerasan terhadap istri. Sisanya kekerasan terhadap anak perempuan, pekerja rumah tangga dan kekerasan seksual. 

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih dalam ranah yang mengkhawatirkan. 

Perempuan masih menjadi titik korban dalam sebuah KDRT. Ada beberapa faktor yang menyebabkan KDRT terjadi dalam sebuah rumah tangga salah satunya masalah ekonomi menempati puncak tertinggi, perselingkuhan, budaya patriarki, campur tangan pihak ketiga, bermain judi dan perbedaan prinsip.

 Dan bentuk kekerasan yang dialami oleh survivor adalah kekerasan fisik ( ditampar, ditempeleng, diinjak), kekerasan psikis (cacian, makian dan ancaman) serta penelantaran rumah tangga (Jurnal Kajian Sosiologi, Evi Tri Jayanthi). 

Beberapa korban KDRT rata-rata memilih diam, tidak bergeming dan tidak mengambil tindakan apapun. Sedangkan tindakan melukai fisik orang lain sebenarnya sudah masuk ke ranah kriminal. Tentu ada perlindungan hukum untuk ini. 

Namun, korban KDRT tidak akan berani mengambil tindakan lebih jauh. Berpikir bahwa KDRT adalah aib, malu diketahui oleh  masyarakat umum dan meluas. Atau mungkin berkeyakinan atas landasan cinta bahkan suatu saat akan berhenti KDRT. 

Belum lagi ditambah beban anak, jika pasangan tersebut sudah memiliki anak biasanya akan semakin sulit melepaskan diri dari sebuah rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan. Beralasan bahwa "menjaga anak" menjadi alasan utama. Padahal dengan mempertontonkan kekerasan dalam rumah tangga didepan anak juga bukan hal yang baik. 

Diperlukan keberanian dan environment yang tepat bagi seorang korban KDRT untuk mampu bangkit dan merubah kehidupannya. Seseorang yang mengalami KDRT adalah seorang korban, memerlukan perlindungan dan harus dibantu. 

Korban tentu tidak akan mampu berpikir secara jernih. Namun jika dikaji lebih dalam, dalam sebuah KDRT terdapat sebuah pilihan. Pilihan menentukan masa depan rumah tangganya : Terus bertahan dan menjalani kekerasan atau Memilih keluar meski harus hidup mandiri dengan segala konsekuensinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline