Seleksi ASN Dosen Tahun 2023 menuai kontroversi. Dimuat dalam berbagai media, aduan peserta yang menyampaikan adanya tindak kecurangan dalam proses seleksi. Tahun ini, proses seleksi dimulai dengan adanya Tes Seleksi Dasar dengan menggunakan Computer Assisted Test (CAT) dan bagi peserta yang lolos perangkingan akan melanjutkan ke Tahap Seleksi Kompetensi Bidang yang terdiri dari dua tahap yaitu NON CAT (Wawancara dan Microteaching) serta CAT meliputi : Penalaran, Literasi Bahasa Inggris dan Etika Tridharma Perguruan Tinggi.
Masa sanggah memberikan waktu bagi peserta untuk memberikan sanggahan terkait proses tes yang dijalani. Dan media meliput bahwa banyaknya peserta mengeluhkan proses wawancara dan microteaching yang tidak berjalan sesuai prosedur. Kemendikbud memberikan informasi melalui laman resmi bahwa mengundur hasil pengumuman dan melakukan pengolahan nilai ulang sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Menurut Robert C Solomon (2005), Subyektif adalah sesuatu yang bergantung pada pikiran (bias, persepsi, emosi, opini, imajinasi atau pengalaman sadar). Mempertimbangkan kebenaran klaim berdasarkan sudut pandang makhluk hidup. Misalkan seseorang merasa bahwa masakan ini terlalu pedas, namun menurut orang lain, masakan ini tidak pedas. Itulah subyektif. Sedangkan menurut Amy Allen (2002), Subyektif merupakan pengalaman sadar, perspektif, keyakinan dan keinginan yang secara sadar memegang kekuasaan atas orang lain.
Sedangkan obyektif, dikatakan jika kebenaran dipastikan tanpa bergantung pada pikiran, tanpa mempertimbangkan diluar sudut pandang makhluk hidup. Membandingkan beragam teori hingga sampai pada kebenaran universal (Nicholas Rescher, 2008).
Dua kata inilah yang menyeruak di tengah-tengah proses seleksi terjadi. Wawancara dan Microteaching dilakukan oleh Pihak Panitia dari Perguruan tinggi masing-masing. Mungkin pada tahap ini, kampus diberikan hak penuh untuk memilih kandidat yang sesuai. Itu tentu sah. Dalam kedua proses tersebut tentulah ada kisi-kisi atau panduan dalam melakukan Wawancara dan Microteaching kepada peserta. Namun tentu, semua tergantung Eksekutor.
Seperti yang pernah dimuat dalam Kompasiana sebelumnya, Microteaching dan Wawancara ibarat Killing Ground. Menjadikan tes yang objektif menjadi tidak bergigi alias ompong.
Yah, tentu terjadi. Mengernyitkan dahi ketika membaca hasil pengumuman.
Beberapa peserta dengan nilai tertinggi pada Tes SKD malah mendapatkan nilai jeblok di Wawancara dan Microteaching. Sementara peserta yang ranking 2 atau 3 pada SKD malah melesat pada Wawancara dan Microteaching. Ketika di tes lagi pada SKB, rata-rata skor SKB dari peserta yang melesat ini juga tak terlalu tinggi.
Kesimpulannya, dua tes objektif menggunakan CAT harus dikalahkan oleh dua tes yang rawan subjektifitas yaitu Wawancara dan Microteaching.
Tidak semua tes curang, tidak semua tes berjalan subyektif. Namun parameter apakah yang valid dalam menilai subyektifitas ini? Subyektifitas, berkuasa atau memegang kekuasaan pada orang lain. Eksekutor, berkuasa pada peserta.
Tes CAT seakan hanya menjadi nilai penambah, hanya menjadi penyelamat ranking sementara faktor utama ditentukan oleh Wawancara dan Microteaching yang diberikan Passing Grade 12,5. Uniknya, peserta yang dibawah passing grade 12,5 tetap dianjurkkan untuk ikut Tes SKB CAT. Bagi sebagian peserta tentu membuang biaya dan waktu, tapi bagi sebagian peserta ini adalah tahapan untuk berjuang hingga titik akhir, meski tahu bahwa sudah gugur dan seakan sia-sia tak ada gunanya melanjutkan tes sampai akhir.
Lalu bagaimana dengan aduan yang dilaporkan pada masa sanggah? Tentu masih menjadi polemik. Peserta tidak dapat memberikan bukti valid dari proses seleksi yang dialami, terdapat Pakta Integritas yang melarang peserta merekam proses Wawancara dan Microteaching. Sehingga aduan diberikan berdasarkan asumsi : 'merasa dicurangi' dan 'tendensius, intimidatif' atau bahkan 'penuh dengan opini pribadi' agar Panitia terkait melakukan pengecekan ulang hasil rekaman.