Steve Siebold dalam bukunya yang berjudul "Secrets Self-Made Millionaires Teach Their Kids" menulis bahwa orang-orang kaya mengajarkan anak-anak mereka bahwa kegagalan bukanlah hal yang fatal dalam hidup.
Failure is not fatal.
Mereka justru akan menyemangati anak-anak mereka untuk mencoba lagi dan lagi. Anak-anak orang kaya diajarkan untuk melihat sebuah masalah sebagai tantangan dengan berbagai kemungkinan solusi. Apabila mereka mengalami kegagalan dalam suatu bidang, mereka akan disemangati untuk melihat sisi lain dari masalah tersebut. Apakah ada alternatif yang lain untuk menyelesaikan masalah itu? Sudahkah melihat dari sudut pandang yang lain agar masalah tersebut dapat diatasi.
Sebaliknya, anak-anak dari keluarga menengah (atau bahkan dari kalangan kurang mampu) cenderung mudah menyerah. Tak sedikit yang menilai bahwa masalah yang berulang kali gagal diatasi sebagai sesuatu yang di luar kapasitasnya. Mungkin memang tak ada cara lain dan sebaiknya berhenti sampai di situ saja daripada menghabiskan waktu dan tenaga.
Saya jadi teringat masa kecil hingga masa remaja saya yang bisa saya kategorikan sebagai keluarga menengah ke bawah. Dibilang miskin tidak bisa karena kami masih bisa makan, bayar uang sekolah, dan beli peralatan sekolah. Tapi dibilang mampu juga tidak bisa karena dulu saya seringkali absen dari karyawisata sekolah, acara ulang tahun teman, atau kegiatan lainnya yang membutuhkan uang untuk partisipasi dan bekal.
Dulu, saya ingin sekali jadi perancang busana karena saya suka menggambar dan saya suka melihat baju-baju yang cantik. Mungkin karena ketidakmampuan untuk punya koleksi baju dan gaun anak-anak yang jadi tren di kalangan anak sekolah pada waktu itu, saya pikir seandainya jadi perancang busana tentulah saya bisa membuat baju-baju cantik untuk keluarga dan diri saya sendiri tanpa harus buang uang.
Namun seperti yang digambarkan oleh Steve Siebold dalam bukunya, saya tidak diajarkan untuk berpikir bagaimana memecahkan masalah. Keuangan jelaslah suatu masalah karena keluarga saya tak mampu membiayai saya untuk sekolah desain busana. Yang mengejutkan adalah mental keluarga (dan saya sendiri) pada waktu itu, persis seperti yang digambarkan oleh Siebold tentang anak-anak dari kelas menengah ke bawah.
Saya menganggap bahwa cita-cita saya ketinggian dan lebih baik dikubur saja. Kenapa? Lebih baik begitu daripada bermimpi ketinggian dan akhirnya saya sedih karena terbentur oleh kekurangan finansial yang dialami keluarga saya.
Saya yakin ini bukan hanya dialami oleh keluarga saya saja tapi oleh banyak orang lainnya. Mungkin tidak sedikit dari Anda yang pernah mendengar orangtua berkata,
"Sudahlah, bermimpi itu boleh tapi jangan ketinggian. Nanti sakit kalau jatuh."
"Hidup itu harus realistis, jangan kebanyakan berkhayal di awang-awang. Bisa makan saja sudah bagus."